Dalam beberapa hari ini, saya mencoba menjelajahi kompasiana. Luar biasa banyak tulisan yang ada. Saya sampai tidak bisa membuat penghitungan sebagai sebuah fakta. Yang menarik bagi saya adalah bukan banyaknya tulisan itu, tapi dari sekian banyak tulisan itu, terdapat sekian banyak pula tulisan tentang agama. Dan dari sekian banyak tulisan tentang agama itu, terdapat sekian banyak tulisan yang berisi tentang debat kusir. Ketika saya membuka tulisan dan membaca komentar-komentarnya, kuping saya menjadi merah. Entah karena marah, entah karena geram, atau karena geregetan. Apakah tulisan-tulisan itu bertujuan untuk berbagi ilmu? Awalnya saya berpikir begitu. Tetapi ketika saya menelusuri komentar-komentarnya, saya jadi ragu dengan tujuan itu. Rasa saya, ada motivasi tersembunyi. Setidak-tidaknya motivasi untuk mempengaruhi, bisa untuk mempengaruhi sesama keyakinan atau berbeda keyakinan. Salah satu indikatornya adalah ketika ada tulisan tentang agama x ditulis oleh orang yang beragama y. Jika menyangkut penghayatan, saya rasa tidak masalah. Namun ketika tulisan itu menyangkut prinsip dasar sebuah agama, ini baru bermasalah. Mengapa? Karena argumen yang dipakai pun sejauh mendukung argumen yang hendak disampaikan. Sumber-sumber yang tidak sesuai dengan argumen akan diabaikan. Indikator lain adalah dengan mencuplik sebuah sumber secara tidak proporsional. Sebuah tulisan merupakan sebuah satu kesatuan. Tidak pernah tulisan, apalagi kata atau kalimat, berdiri sendiri. Ada teks dan ada konteks. Ketika sebuah kata atau kalimat diambil begitu saja, maka hilanglah konteksnya. Belum lagi ketika kata atau kalimat itu ditafsirkan untuk mendukung gagasan yang hendak disampaikan. Bisa gawat nich... Diskusi mengenai agama, maaf: bukan debat, yang dilakukan oleh orang-orang yang berkeyakinan beda hendaknya berangkat dari sebuah keterbukaan. Jika belum jelas, bertanya. Ketika sudah dijelaskan, ya sudah wong kita tidak tahu betul keyakinan orang lain [kecuali kita mengklaim menguasai keyakinan orang lain]. Itu sudah cukup. Tetapi ketika itu tidak terjadi, terjadilah yang disebut dengan debat. Kata-kata tolol dan bodoh akan muncul. Jadilah sebuah keributan kecil. Sejauh saya membaca beberapa tulisan-tulisan seperti itu, saya belum pernah menemukan sebuah diskusi. Yang ada adalah debat dan debat yang kadang membuat geram, namun kadang membuat saya tertawa ngakak ketika yang satu berkelit dan segera mengeluarkan jurus andalan karena terdesak. Akibat dari membaca postingan-postingan tulisan seperti itu, muncul sebuah pertanyaan yang mengusik hati saya: jangan-jangan Tuhanku dan Tuhanmu berbeda? Maaf.. Kalau Tuhan kita beda, tidak usah dipaksa untuk disamakan. Kalau ada salah satu atau kedua pihak ingin menyamakan, ya itu tadi, jadilah debat kusir yang berujung pada penyerangan karaketer individu. Wong sumber yang dipakai juga bukan tulisan sendiri kok. Toh sumber yang dipakai juga menterjemahkan dan menafsirkan tulisan orang lain yang punyak konteks dan teksnya sendiri. Jika Tuhanku berbeda dengan Tuhanmu, maaf jangan menganggap keyakinan orang lain sebagai keliru atau salah. Juga jangan memaksakan diri untuk menjelaskan Tuhan orang lain dari sudut pandang Tuhanmu. Usaha yang akan sia-sia, karena Tuhan kita berbeda. Jika Tuhan kita beda, tidak usah mencari kesalahan dan kelemahan Tuhan yang lain demi cita-cita tersembunyi Anda. Memang kita hidup dalam dunia yang maju dan dunia maya merupakan cara efektif untuk membuat propaganda-propaganda untuk menarik orang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H