[caption id="attachment_290180" align="aligncenter" width="620" caption="akur dan rukun"][/caption]
Kiranya Anda sudah mengerti bahwa wacana negara Islam di Indonesia bukanlah barang baru. Ide dan wacana itu sudah ada sejak berdirinya negeri tercinta ini. Hanya cara dan pengungkapannya saja yang berbeda pada masing-masing zaman. Ada yang berjuang untuk mendirikan negara Islam. Namun ada yang mengambil jalan tengah: bentuk negara bisa apa pun, namun syariat Islam menjadi dasarnya.
Sebagai seorang non Muslim, saya mendukung gerakan itu. Terlihat aneh? Bagi saya, dukungan ini tidak aneh karena saya pun memberikan beberapa catatan yang perlu diperhatikan. Takperlu sembunyi-sembunyi, blak-blakan saja.
Sejarah telah mencatat, pendirian negara Islam di Indonesia selama ini mengalami kegagalan dengan selesainya “pemberontakan-pemberontakan” yang dilakukan di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Salah satu contoh yang bisa disebut adalah selesainya pemberontakan DI/TII yang ingin mendirikan Negara Islam Indonesia. Apakah masih akan muncul gerakan lain yang menggunakan cara ini untuk mewujudkan wacana negara Islam? Waktulah yang akan menjawabnya.
Belajar dari sejarah kegagalan usaha untuk mewujudkan negara Islam dengan cara-cara ‘pemberontakan’, pendulum bergeser ke arah sebaliknya. Idenya tetap sama, yaitu menjadikan syariat Islam sebagai dasar hidup bangsa Indonesia. Bentuk negaranya tetap Negara Kesatuan Republik Indonesia, namun memberlakukan syariah Islam. Semua bentuk hukum dan perundangan di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini harus disesuaikan dengan Qur’an dan as-Sunnah.
Semakin hari, gerakan ini semakin berkembang. Beberapa daerah, dengan otonominya, sedikit demi sedikit mulai menyelaraskan peraturan-peraturan dengan hukum Islam. Salah satu faktor penting dalam keberhasilan gerakan ini adalah pemimpin politis. Membicarakan bagian ini cukup unik. Sejauh saya mengerti, agama dan politik dalam dunia Islam adalah dua hal yang takterpisahkan. Tidak mengherankan jika praktek yang terjadi adalah pemimpin agama sekaligus menjadi pemimpin politis. Atau pemimpin agama memiliki akses cukup besar pada pemimpin politis. Mungkin bisa dikatakan, negara memiliki peran cukup besar dalam keagamaan.
Saya mengatakan unik dengan sebuah pertanyaan: sejauh mana umat Islam mengikuti atau menjalankan perintah pemimpin agama? Atas pertanyaan ini, bisa terjadi diskusi yang sangat panjang. Saya tidak hendak masuk dalam ranah itu. Bagaimana pun bukan kapasitas saya untuk membedahnya. Yang bisa saya buat adalah mengamati fenomena yang ada. Sejauh saya tahu, pemimpin panutan dalam agama Islam adalah ulama. Di Indonesia ini ada MUI atau Majelis Ulama Indonesia. Ketika MUI memberikan sebuah fatwa, semestinya ditaati. Namun, sering saya melihat masih ada tarik ulur atas fatwa yang nyatanya dikeluarkan oleh para ulama.
Melihat fenomena itu, kebijakan pemimpin agama terlihat kurang populis. Tumpuan harapan tinggal pada pemimpin-pemimpin politis. Faktor ini terlihat cukup ampuh untuk mewujudkan gerakan penerapan syariah Islam. Para pemimpin agama tinggal mengaplikasikan kebijakan pemimpin politis. Sebuah kolaborasi yang luar biasa ketika hal ini bisa dibuat. Gagasan seperti ini pernah dilontarkan oleh KH Cholil Ridwan sebagai dikutip oleh jurnalis Voaislam: Yang harus dilakukan umat Islam sekarang adalah merapatkan barisan, bersatu untuk merebut kekuasaan tanpa pertumpahan darah, tanpa senjata, dan tanpa bom. “Bila kita sudah bersatu, maka kita dapat memberlakukan hukum Islam. Terpenting semua kelompok umat Islam harus rujuk. Kongkritnya, bisa dimulai dengan kembalinya umat Islam ke masjid, tidak hanya ritual ibadah yang bersifat ubudiah, tapi juga bermuamalah di segala sector kehidupan, baik ekonomi, politik, seni maupun budaya.”
Selanjutnya, konsep syariat Islam sendiri perlu matang. Apa yang dimaksud dengan syariat Islam itu sendiri. Dengan konsep yang jelas, niscaya masyarakat akan lebih mudah menerima. Konsep yang jelas dan bisa dipahami pun akan memudahkan masyarakat untuk mengerti sebagai satu bagian utuh. Jika tidak, masing-masing kelompok bisa mengartikan dan menerjemahkannya secara berbeda seturut kepentingan masing-masing. Akibatnya, sebuah aturan yang sama bisa diaplikasikan secara berbeda. sebuah contoh kecil: ada himbauan bagi warung atau restoran untuk tutup selama puasa. Di satu daerah, aman-aman saja sebuah warung tetap buka (dengan menutup bagian depan warung) untuk melayani mereka yang tidak berpuasa. Namun, kita mungkin pernah mendengar di daerah lain ada aksi menentang warung yang tetap buka pada saat puasa. Nah, aturan warung tutup itu untuk warung yang dimiliki orang Muslim atau untuk semua warung? Bagaimana jika warung non muslim tetap buka dan di depan warung diberi tulisan: “Khusus non muslim. Harap menunjukkan kartu tanda penduduk!”?
Contoh lain: kewajiban IMB untuk rumah-rumah ibadat. Mari membuka mata, ada banyak rumah ibadat yang tidak berIMB lho. Bagi satu kelompok rumah ibadat tidak berIMB tidak menjadi masalah. Bagi kelompok lain?
Perlunya konsep syariat Islam yang jelas semakin dibutuhkan mengingat penerapannya di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini akan besinggungan dengan pengakuan keberadaan agama lain. Bukan hanya bersinggungan dengan agama lain, tetapi juga akan bersinggungan dengan mereka yang nasionalis. Masih ingat diskusi soal polwan berjilbab? Tiadanya aturan yang jelas menjadikan para elitenya berbeda pandangan. Yang satu mengijinkan, sementara yang lain tidak mengijinkan selama belum ada aturan internal yang mengatur penggunakan jilbab bagi polwan. Yang lain lagi menggunakan argumen kewajiban menurut hukum agama.
Tiadanya konsep yang jelas dan persamaan persepsi menjadikan masing-masing individu melakukan interpretasi dan penerapannya menjadikan syariat Islam hanya berhenti pada kertas dan poster semata. Syariat Islam tertuang dalam aneka peraturan dan perundang-undangan, namun penerapannya menjadi berbeda. Satu satu alasan kuat yang sering menjadi alasan atau rujukan adalah syariat Islam dengan keadaan seperti situasi Madinah kala itu. Keragaman diakui dan diberi tempat. Situasi ini mungkin terjadi jika segala bentuk peraturan dan perundangan yang ada dipahami secara sama baik ditingkat elit maupun ditingkat bawah. Berhenti pada kalangan elite dan tidak sampai ke kalangan bawah akan menjadikan situasi yang tidak nyaman. Dengan contoh mungkin akan menjadi lebih jelas. Sebagian Muslim menganggap kegiatan seperti merti desa sebagai musrik. Lalu ada sekelompok kecil warga non muslim mengadakan kegiatan merti desa untuk melestarikan warisan nenek moyang. Kira-kira apa yang akan terjadi?
[caption id="attachment_290181" align="aligncenter" width="620" caption="pose sebelum kirab keliling kampung dalam sebuah ritual merti desa"]
Menjadikan syariat Islam sebagai landasan hidup berbangsa dan bernegara harus diikuti dengan kesamaan pemahaman. Kesamaan pemahaman perlu dibarengi dengan kesamaan aktualisasinya. Inilah yang akan menjamin berjalannya syariat Islam secara benar. Endingnya, keanekaragaman tetap mendapat tempat. Indah bukan? Jadi, mari kita dukung usaha membuat sebuah syariat Islam yang aplikatif dan bisa diterima semua pihak, tanpa kecuali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H