Mohon tunggu...
yswitopr
yswitopr Mohon Tunggu... lainnya -

....yang gelisah karena sapaan Sang Cinta dan sedang dalam perjalanan mencari Sang Cinta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Monumen Jogja Kembali: Pemerkosaan Sumbu Imajiner?

29 Juli 2010   08:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:29 837
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Apakah Anda pernah ke Monumen Jogja Kembali? Mungkin ada di antara Anda yang belum pernah ke sana. Monumen Jogja Kembali merupakan salah satu monumen yang ada di Jogjakarta. Monumen yang terletak di Jalan Lingkar Utara (tepatnya di dusun Jongkang, desa Sariharjo, Kecamatan Ngaglik, kabupaten Sleman, Yogyakarta) ini sangat mudah untuk diakses. Bahkan berada di jalan utama sehingga tidak perlu bersusah payah untuk sampai ke tempat ini.

Monumen Jogja Kembali yang berbentuk gunung ini mulai dibangun pada tanggal 29 Juni 1985. Pembangunan monumen ini ditandai dengan peletakan batu pertama oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII. Dalam upacara peletakan batu pertama ini diadakan upacara tradisional penanaman kepala kerbau. Empat tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 6 Juli 1989, monumen setinggi 31,8 meter ini selesai dibangun. Kemudian diresmikan oleh Presiden Soeharto.

Yang menarik untuk diamati dan diteliti adalah tata letak Monumen Jogja Kembali ini. Saya merasa, tata letak Monumen Jogja kembali pasti mengandung maksud tertentu. Dari sisi sejarah, monumen berbentuk gunungan ini hendak menandai berfungsinya kembali Pemerintahan Republik Indonesia. Dan sekaligus sebagai tetenger sejarah ditarik mundurnya tentara Belanda dari Ibukota Yogyakarta yang terjadi pada tanggal 29 Juni 1949 serta kembalinya Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan petinggi lainnya pada tanggal 6 Juli 1949 di Yogyakarta. Sebagai bentuk penanda atas sebuah peristiwa besar dalam sejarah bangsa Indonesia, keberadaan monumen ini sah-sah saja. Bahkan sangat perlu karena dapat menjadi wahana pembelajaran sejarah. Setidaknya fungsi ini masih berjalan baik hingga sekarang. Setiap liburan sekolah tiba, monumen ini banyak dibanjiri anak-anak sekolah yang mengadakan rekreasi atau pun study tour.

Bagaimana jika keberadaan monumen ini dilihat dari sudut pandang budaya? Saya yakin Anda pernah membaca atau mendengar istilah sumbu imaginer. Istilah ini sangat terkenal dan dipahami dengan baik orang-orang Jogjakarta. Sudah sejak dahulu kala, orang Jawa di Jogjakarta mengenal mewariskan sumbu imaginer. Yang dimaksud sumbu imaginer adalah garis lurus yang menghubungkan Merapi dan Laut Selatan. Garis lurus ini memiliki titik-titik penghubung, yaitu Tugu, Kraton, dan Panggung Krapyak. Merapi dalam konteks sumbu imaginer merupakan gambaran “lingga”, sedangkan Laut Selatan merupakan gambaran “Yoni”. Bagi masyarakat Jogjakarta, simbol ini memiliki makna yang sangat mendalam. Bertemu dan menyatunya Merapi yang melambangkan lingga dan Laut Selatan yang melambangkan yoni akan menimbulkan berkah bagi masyarakat. Berkah yang dimaksud adalah berkah kesuburan dan kemakmuran. Kepercayaan ini telah mendarah daging sejak dahulu kala. Tidak mengherankan jika kemudian masyarakat di lereng Merapi memilih untuk tetap tinggal meskipun gunung ini sedang marah dengan menyemburkan lahar maupun asap panasnya.

Jika dilihat dalam kerangka mitologi ini, setidaknya ada dua hal yang menarik. Pertama, bentuk monumen. Monumen Jogja Kembali dibangun dengan bentuk dasar kerucut. Jika diperhatikan, maka orang akan langsung mengerti bahwa monumen ini menyerupai sebuah gunung. Dalam kerangka sumbu imajiner, monumen ini tentu menunjuk pada gunung Merapi. Gunung Merapi adalah ikon Jogjakarta. Keberadaannya senantiasa menghiasi langit Jogjakarta. Abu vulkanik yang disemburkan gunung ini pun mampu memberikan kesuburan bagi masayarakat Jogjakarta dan sekitarnya. Nah, dalam kerangka ini, menurut hemat saya, Monumen Jogja Kembali hendak menunjukkan dirinya sebagai ikon kota Jogjakarta. Monumen Jogja Kembali bukan semata-mata penanda sejarah, tetapi hendak menjadi sumbu atau pusat laku spiritualitas masyarakat. Dari monumen ini diharapkan mengalir berkat kemakmuran. Tapi kemakmuran untuk siapa?

Kedua, tata letak. Sebuah pertanyaan muncul: mengapa monumen ini dibangun di Dusun Congkang dan bukan di tempat lain? Jika ditarik lurus, maka Monumen Jogja Kembali yang dibangun di atas lahan seluas 49.920 m2 itu tepat berada di jalur sumbu imajiner. Titik temu monumen ini dengan sumbu imajiner berada di lantai tiga, tepatnya pada tempat berdirinya tiang bendera.

Sudah sejak dahulu, sumbu imaginer itu adalah Laut Selatan – Kraton – Tugu – Merapi. Dan baru tahun 1989 berdiri bangunan baru yang diklaim menjadi bagian dari sumbu imajiner itu. Rasa saya, ini adalah sebentuk kepandaian para tokoh pencetus dan pendiri monumen ini. Siapa pun mereka pasti paham betul dengan konsep sumbu imajiner sehingga mereka mampu menempatkan monumen ini sebagai bagian dari sumbu imajiner itu. Persoalannya adalah apakah penempatan Monumen Jogja Kembali dalam kerangka sumbu imajiner ini juga mengakar dalam tradisi masyarakat? Jika tidak, rasa-rasanya penempatan monumen ini dalam konsep sumbu imajiner hanyalah sebuah pemerkosaan atas konsep yang telah turun temurun dan terus diwariskan hingga sekarang.Ujung-ujungnya justru akan merusak dan mengaburkan makna dari konsep itu sendiri. Ambil contoh: konsep sumbu imajiner menjadikan masyarakat demikian menghormati dan tidak mau main-main dengan Laut Selatan dan Merapi. Ketika berani bermain-main maka ia akan menanggung resiko yang besar. Oleh karena itu memasukkan Monumen Jogja Kembali dalam kerangka sumbu imajiner hanyalah sebuah pemaksaan demi sebuah cita-cita yang takbisa diselami. Saya hanya bisa mengira-ira saja.

Apakah dengan ditempatkan dalam kerangka sumbu imajiner monumen ini hendak numpang tenar? Atau malah muncul sebagai pengacau?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun