Beberapa hari ini, terjadi lagi kasus rencana penutupan atau penyegelan tempat ibadat di Jogjakarta. Uniknya, gereja tersebut telah 30 tahun ada. Lagi, dalih penyegelan adalah soal IMB. Logikanya jika tempat ibadat tidak berIMB sebagai tempat ibadat, maka tidak boleh digunakan. Nalar saya yang cupet ini menangkap demikian.
Jika logikanya benar seperti itu, maka generalisasinya adalah semua bangunan yang tidak memiliki IMB atau peruntukannya berbeda dengan IMB harus ditutup. Misal, saya mendirikan rumah tanpa IMB, maka mestinya rumah saya disegel atau ditutup karena saya membangun rumah tanpa IMB. Repot, kan?
Untuk mencoba masuk ke substansi, saya berusaha membaca SKB 3 Mentri tersebut. Ada 10 bab dengan 31 pasal. Materi pendirian rumah ibadat dibahas di bab IV. Izin sementara pemanfaatan bangunan gedung dibahas di bab V.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata mendirikan memiliki 4 makna. Dalam konteks bangunan, arti kedualah yang paling tepat: membuat atau membangun (rumah, pabrik, dan sebagainya). Dengan demikian, bisa diartikan bahwa kata mendirikan rumah ibadat bermakna dari belum ada rumah ibadat dan akan membuat atau membangun rumah ibadat. Jika pemahaman ini disetujui maka, seluruh bab IV dalam SKB 3 mentri tersebut hanya berlaku untuk pembangunan rumah-rumah ibadat. Jika hendak membuat atau membangun rumah ibadat baru, aturan tersebut harus diberlakukan kepada siapapun.
Dalam pasal 13, diberikan prinsip dasar pendirian rumah ibadat, yaitu (1) Pendirian rumah ibadat didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/desa. (2) Pendirian rumah ibadat dilakukan dengan tetap menjaga kerukunan umat beragama, tidak mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, serta mematuhi peraturan perundang-undangan. (3) Dalam hal keperluan nyata bagi pelayanan umat beragama di wilayah kelurahan/desa tidak terpenuhi, pertimbangan komposisi jumlah penduduk digunakan batas wilayah kecamatan atau kab/kota atau provinsi.
Kalau dibaca sekilas, sebenarnya mudah. Penentuan komposisi ideal berada di tingkat keluarahan atau desa. Jika tidak terpenuhi, levelnya dinaikkan. Digunakan batas wilayah kecamatan atau kabupaten/kota atau provinsi. Nah, pada bagian ini terkadang ada persoalan. Sejauh saya tahu, sebagai contoh, teritori sebuah paroki dalam agama Katolik tidak mengikuti teritori pemerintahan. Bagaimana harus diselesaikan ketika ada sebuah paroki yang berada diperbatasan? Ada umatnya berada di desa X, wilayah propinsi A dan sebagian lagi berada di desa Y, wilayah propinsi B. mengembangkankan ke tingkat kecamatan? Tidak mungkin karena sudah masuk ke teritori paroki lain.
Syarat khusus pendirian rumah ibadat dibahas dalam pasal 14 ayat 2, yaitu: (a.) Daftar nama dan KTP pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah. (b.) Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/ kepala desa; (c.) Rekomendasi tertulis Kakan Depag kab/kota; dan (d.) Rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota.
Jika ayat 2 huruf b belum terpenuhi, ternyata ada jalan keluarnya. Jalan keluarnya diatur dalam pasal 14 ayat 3. Jalan keluarnya adalah ”pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadat”.
Ada yang menarik dari pasal 16 yang mengatur proses pengajuan dan pemberian izin. Dalat ayat 2 desebutkan bahwa “Bupati/walikota memberikan keputusan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak permohonan pendirian rumah ibadat diajukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”. Sesudah permohonan disampaikan, harus ada keputusan paling lambat 30 hari. Nah, kadangkala sudah diajukan tapi menunggu keputusannya sampai ”lumuten”. Bagaimana? Ya diterima saja soalnya tidak ada sanksi apa pun atas pelanggaran di SKB ini.
Sementara penggunaan gedung bukan rumah ibadat sebagai rumah ibadat sementara harus mendapat surat keterangan pemberian izin dari bupati atau walikota. Syaratnya ringan: laik fungsi dan pemeliharaan kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban masyarakat. Untuk memenuhi point kedua dari syarat tersebut dibutuhkan: izin tertulis pemilik bangunan; rekomendasi tertulis Lurah/Kepala Desa; pelaporan tertulis kepada FKUB kabupaten/kota; dan pelaporan tertulis kepada Kakan Depag kabupaten/kota. Mudah kan?
Jika diamini bahwa pasal-pasal dalam bab IV ditujukan hanya untuk mereka yang ingin membuat atau membangun rumah ibadat baru, bagaimana dengan “rumah ibadat” tetapi belum berIMB rumah ibadat. Faktanya, “rumah-rumah ibadat” ini ada dan sialnya banyak. Dan ini pula yang sering menjadi masalah. Ketika muncul kesadaran untuk mengurus IMB, biasanya untuk kepentingan renovasi, persoalan muncul. Sehari-hari sih ga ada masalah. Ibadat berjalan biasa. Tetapi karena kebutuhan, bangunan ibadat harus diperbesar. Nah, protes dan ancaman penyegelan muncul. Sialnya lagi, wajah-wajah asinglah yang berdatangan.