Mohon tunggu...
yswitopr
yswitopr Mohon Tunggu...

....yang gelisah karena sapaan Sang Cinta dan sedang dalam perjalanan mencari Sang Cinta

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Menyoal Qanun Jinayah Aceh

4 Oktober 2014   15:29 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:25 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14123861031362442487

[caption id="attachment_327180" align="aligncenter" width="620" caption="teruslah berkibar sang dwi warna"][/caption]

Beberapa waktu yang lalu, saya telah membuat sebuah telaah atas perda yang berlaku di Acehatau biasa disebut qanun dalam kaitannya dengan Undang-undang. Tulisannya di SINI. Kiranya diamini bahwa hukum yang berada di level bawah tidak boleh atau tidak bisa melawan hukum yang berada di atasnya. Apakah akan menjadi kenyataan?

Dalam sebuah media massa ditulis pernyataan Prof. Dr. Alyasa Abubakar, salah seorang tim ahli Komisi G DPRA, “Peraturan ini merupakan amanah dari UU nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh pasal 129. Kita hanya melaksanakan UU-PA yang merupakan kekhususan Aceh”. Pernyataan ini menarik. Mengingat pada UU yang sama, yaitu pada pasal 16 ayat 2a disebutkan bahwa penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanan syari'at Islam bagi pemeluknya di Aceh dengan tetap menjaga kerukunan hidup antarumat beragama.

Nantinya, hukum ini akan mengenai siapa pun yang berada di Aceh. “Yang terpenting mereka harus menghormati rumah kita sendiri, jangan gaya barat dibawa ke Aceh. Siapapun yang datang ke Aceh harus ikut aturan yang ada di sini,” demikian penegasan Ramli Sulaiman, Ketua Komisi G DPRA, sebagaimana dikutip oleh Harian Analisa, Jumat 26 September 2014.

Dari sini terlihat jelas bagaimana posisi qanun ini. Jika disahkan, qanun ini akan menjerat siapapun, tanpa kecuali. Meskipun ada kelonggaran bagi nonmuslim, namun keberadaan qanun ini patut dipertanyakan. Mohon maaf, ini tidak berbicara soal jenis hukuman, tetapi berbicara mengenai posisi hukum atau aturannya. Pengecualian yang dimaksud adalah jika hukuman diatur dalam KUHP, terdakwa bisa memilih menggunakan KUHP atau qanun ini. Jika tidak, digunakan qanun.

Alasan yang terlontar menarik. Dalam bahasa yang sedikit lebar, bisa dirumuskan: “Ini Aceh. Ikutilah aturan di sini!” Mengamati persoalan ini, saya teringat dengan gonjang-ganjing seputar penggunaan jilbab dalam institusi kepolisian beberapa waktu silam. Persis, alasan yang sama juga dikemukakan oleh mereka yang mencoba mengkritisi persoalan itu. “Ini POLRI. Ikutilah aturan di sini! Siapapun yang masuk ke dalam institusi POLRI haru mengikuti aturan yang berlaku.” Dasarnya adalah peraturan atau undang-undang yang berlaku. Siapapun yang masuk ke dalam institusi kepolisian harus mengikuti aturan yang berlaku dalam institusi itu. Mengapa saat itu demikian ramai, sementara pada bagian ini adem ayem saja? Lucu juga ya, ternyata sebuah pernyataan yang sama bisa digunakan untuk berbagai kepentingan yang lain yang kalau dipetakan, kepentingan dasarnya demikian bertolak belakang. Jika alasan seperti itu sahih, hmmmm…

Mungkin Anda bisa melontarkan pertanyaan kepada saya: jika tidak setuju adanya perda ini, Anda mendukung gay, lesbian atau perbuatan lainnya seperti yang diatur dalam qanun tersebut? Maaf. Saya tidak masuk dalam pembahasan tersebut. Saya mencoba berpikir dari sudut keberadaan peraturan tersebut dihadapkan pada undang-undang yang ada diatasnya. Inilah pointnya.

Bagi saya, ini persoalan besar karena sebuah peraturan daerah atau perda melawan undang-undang yang ada diatasnya. Undang-undang jelas menyebutkan tentang pelaksanaan syari'at Islam bagi pemeluknya di Aceh. Mengapa bisa muncul perda syariat yang mengatur semua orang, tanpa kecuali? Jika dikatakan ada persoalan, manakah yang harus diuji: qanunnya atau UU no 11 tahun 2006? Setidaknya, masih ada waktu bagi pemerintah pusat untuk mengujinya.

Sabtu, 27 September 2014, mencatat sejarah dengan disahkannya secara aklamasi qanun jinayah atau perda yang mengatur hukum pidana Islam dalam sidang parpurna DPRA yang dihadiri oleh 22 dari 69 anggota parlemen Aceh. Mari kita lihat apa yang akan terjadi berkaitan dengan implementasi qanun jinayah ini ke depannya.

Semoga Anda yang membaca tulisan ini, tidak gagal paham dengan apa yang saya maksudkan. Salam

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun