[caption id="attachment_185392" align="aligncenter" width="630" caption="ilustrasi (dok.pri)"][/caption]
Banyak orang bilang motret itu hobby yang mahal. Yah, aku setuju juga dengan pendapat itu. Tetapi, sekaligus tidak setuju juga. Setuju karena untuk motret dibutuhkan alat yang lumayan juga harganya. Tidak setuju karena sarana memotret ada yang murah meriah. Persoalannya bukan soal seberapa mahal alat yang dipunyai, tetapi bagaimana kita mengoptimalkan peralatan yang dipunyai. Di sinilah letak daya kreatifitas dari masing-masing individu. Sekali lagi, persoalannya bukan soal berapa banyak atau seberapa mahal alat yang ada di tangan kita, tetapi bagaimana cara kita menggunakan dan menguasai alat yang kita punyai.
Aku menggunakan kamera DSlR. Namun, aku kadang malu ketika melihat sebuah foto yang ciamik dan dihasilkan dari sebuah kamera saku atau bahkan kamera handphone. Aku juga pernah punya pengalaman unik. Ada seorang teman kagum dengan ketajaman sebuah foto yang dihasilkan oleh lensa berlabel 500an ribu. Padahal teman itu memegang lensa berlabel L. Jadi, mengapa harus minder ketika alat yang kita pegang hanya pas-pasan?
Dari berbagai pengalaman itu, aku semakin sadar bahwa skill dan teknik memegang peranan penting. Skill dan teknik bukan hanya semata-mata berkaitan dengan teknis pemotretan, tetapi bermakna lebih luas. Bagiku, hal itu berkaitan dengan sebelum pemotretan, pada saat pemotretan, dan setelah pemotretan. Ketiganya terjalin erat satu sama lain. Dan hal itu juga dipengaruhi oleh kemampuan pemotret dalam menguasai alat yang dimiliki. Dalam konteks ini, belajat dan belajar adalah kunci suksesnya.
Belajar motret memang takpernah ada habisnya. Ada banyak cara untuk belajar mengasah kemampuan untuk menghasilkan sebuah karya foto yang memiliki nilai. Dalam proses belajar memotret, aku punya kelemahan malas membaca. Kalau sudah bicara soal teknis, langsung muncul bintang-bintang di sekitar kepalaku. Untuk itulah, aku belajar dengan cara lain yang lebih mudah bagiku. Bagiku, skill dan teknik bukan semata-mata urusan Aperture, ISO, dan Speed. Skill dan teknik lebih luas dari itu semua.
Pernah ada pengalaman menarik. Aku belajar memotret dengan berangkat dari seni lukis. Dalam seni lukis, utamanya aliran realis, penguasaan pencahayaan sangatlah penting. Gradasi warna, gelap terang yang tepat akan semakin menonjolkan obyek lukisan. Suatu hari, ada seorang teman mengomentari fotoku demikian, “Om, kalau pake flash akan lebih ajib!” Untuk sekedar memberikan pembelaan diri atas kekurangan, aku menjawab, “Terima kasih. Tapi maaf, ya. Aku justru ingin menonjolkan dimensi gelap terangnya.” Betapa tidak mudah menggambar sesuatu sebagaimana yang aku liat. Aku sadar ada banyak hal yang belum aku mengerti. aku sadar ada sekian banyak ruang gelap dalam dunia fotography yang sama sekali belum mampu aku raba. Untuk itulah aku belajar dan belajar sembari menikmati setiap proses pembelajaran yang aku lalui.
[caption id="attachment_185393" align="aligncenter" width="432" caption="belajar menangkap yang terlihat mata (dok.pri)"]
Aku belajar memotret dengan melihat. Ketika melihat sebuah karya foto yang cakep, aku tertantang untuk menghasilkan foto yang seperti yang aku liat itu. Aku tertantang dengan sebuah pertanyaan: bagaimana bisa menghasilkan foto seperti yang aku liat itu. Pertanyaan itulah yang mendorongku untuk terus menerus mencoba dan bereksperimen hingga aku sampai pada titik merasa bisa. Bukan hasil yang membuatku puas, tetapi proses yang aku lalui itulah yang membuatku merasa puas.
Apakah kemudian aku jatuh pada sebutan menjiplak? Rasaku tidak. Aku yakin tidak pernah ada sebuah karya foto yang sama identik meskipun obyek yang diambil sama dan sudut pengambilan yang sama pula. Mengapa? Karena setiap pemotret memiliki cita rasa yang berbeda. Dan lagi, dalam proses belajar itu aku tidak tertantang untuk menghasilkan foto yang mendekati sama. Dengan belajar melalui melihat hasil karya orang lain, aku berusaha mencari jawaban sendiri atas pertanyaan yang muncul. Misalnya bagaimana menghasilkan sebuah foto dengan pencahayaan seperti yang aku lihat. Ketika melihat ada foto tetesan air, misalnya, aku tertantang untuk menghasilkan foto seperti yang aku liat. Aku akan mencoba dan terus mencoba dengan mengutak-atik sendiri settingan pada kameraku sehingga aku bisa menghasilkan foto tetesan air.
[caption id="attachment_185394" align="aligncenter" width="432" caption="belajar mengeksplorasi (dok.pri)"]
Dengan cara ini, aku semakin belajar mengekplorasi dan menguasai alat yang aku miliki tanpa terjebak pada sebuah teori yang baku. Kebebasanku dalam mengeksplorasi sebuah obyek, mengeksekusi obyek sesuai dengan konsep yang telah terbangun dalam otakku, dan sekaligus memberi makna atas hasilnya adalah caraku untuk mengerti dan memahami sebuah foto yang bergenre fineart.
Dengan melihat aku belajar memotret. Apakah akan berhenti? Sejauh aku masih bisa melihat dan masih bisa belajar, aku tidak akan berhenti. Aku yakin, melalui foto yang aku hasilkan (entah apa pun bentuknya) aku bisa menggunakannya sebagai sebuah sarana untuk bercerita dan berbagi. Semoga Anda pun bisa menemukan setitik makna dalam foto-foto saya ini. foto-foto ini dalam rangka mengikuti WPC 10 Grup Kampret. [caption id="attachment_185395" align="aligncenter" width="432" caption="let's play (dok.pri)"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H