Mohon tunggu...
yswitopr
yswitopr Mohon Tunggu... lainnya -

....yang gelisah karena sapaan Sang Cinta dan sedang dalam perjalanan mencari Sang Cinta

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Ketika Sri Gethuk Mempertemukan Kami

29 Desember 2011   05:24 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:37 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_151998" align="aligncenter" width="630" caption="suasana di areal air terjun"][/caption]

Sematang-matangnya sebuah rencana disusun, kadang kala kandas ketika berhadapan dengan situasi dadakan. Itulah yang kami alami. Jauh hari sudah merencanakan untuk melakukan canyoning di air terjun Sri Gethuk yang terletak di Padukuhan Menggoran, Desa Bleberan Kecamatan Playen Kabupaten Gunungkidul. Rencananya canyoning ini sekaligus sebagai kopdaran 3 kompasianer dari 3 kota berbeda: Salatiga [Dhave Danang], Magelang [Yswitopr] , dan Jogja [Elisabeth Murni]. Rencana sudah tersusun rapi. Tinggal menungguh hari pelaksanaan. Namun apa daya, rencana canyoning terpaksa dibatalkan sehari sebelum pelaksanaan dikarenakan ada musibah yang menimpa salah satu teman. Tulang meniskus Dhave Danang bergeser sehingga tidak mungkin melakukan aktivitas canyoning. Peralatan yang telah disiapkan dengan matang terpaksa disimpan kembali.

Keinginan untuk bertemu menghilangkan rasa sakit. Dengan segala upaya dilakukan sehingga Om Dhave bisa jalan. Rencana bertemu di Sri Gethuk tetap berjalan, meski canyoning batal. 27 Desember 2011 menjadi saksi perjumpaan 3 kompasianer. Selain 3 kompasianer, masih ada 3 sahabat lain yang ikut pergi ke lokasi. 26 Desember Om Dhave dan saya menginap di Sendangsono. 27 Desember pagi kami bertemu dengan Elizabeth Murni di Slanden. Pertemuan yang dihiasi dengan senyuman dan pertanyaan: “Oh, ini tho orangnya”. Bertiga kami meluncur ke Jogja untuk menjemput ketiga sahabat yang lain. Jadilah kami berenam meluncur ke daerah Gunungkidul.

Selepas jalan mulus yang menjadi ciri khas jalan-jalan besar di Gunungkidul, kami disambut dengan jalan berbatu. Hal ini kami alami selepas pasar Playen. Jalan berbatu ini menjadi daya tarik dan kritik untuk pemerintah daerah Gunungkidul. Untuk mengembangkan wisata, diperlukan fasilitas yang baik sehingga para pengunjung merasa nyaman. Salah satu fasilitas yang saya maksudkan adalah fasilitas jalan. Semakin baik jalan menuju ke lokasi, semakin banyaklah pengunjung yang akan mendatanginya. Memang bagi para pecinta alam, kondisi jalan semkin menantang mereka untuk menaklukkannya. Tapi bagi pengunjung keluarga, kondisi jalan yang sulit dapat mematahkan keinginan mereka untuk datang. Amat disayangkan kalau kondisi prasarana menjadi kendala untuk mendatangkan semakin banyak pengunjung.

Sulitnya medan yang harus dilalui terbayar ketika kami sampai ke areal parkir. Ada rasa lega. Setelah mengadakan persiapan, kami melanjutkan perjalanan menuju lokasi air terjun. Kami dihadapkan pada dua pilihan: jalan kaki atau naik perahu. Karena tidak ada satu pun yang mengetahui jalur jalan kaki, akhirnya kami memutuskan untuk naik perahu. 3 ribu untuk sekali jalan. 5 ribu untuk pulang pergi.

[caption id="attachment_152000" align="aligncenter" width="630" caption="di atas perahu"][/caption]

“Kemarin airnya masih jernih, Mas! Karena semalam hujan deras, airnya menjadi coklat begini” ujar si abang tukang perahu memberi keterangan. Berenam kami naik perahu sederhana di atas Kali Oya yang berwarna coklat. Tebing karst menyambut perjalanan kami. Sayup-sayup mulai terdengarlah gemericik air terjun. Taksabar rasanya untuk segera melihat eksotisme ari terjun Sri Gethuk yang membelah perbukitan karst.

Memasuki areal air terjun, aura mistis seolah menyambut kedatangan kami. Kuatnya aura itu semakin diperkuat dengan beredarnya mitos yang ada dan berkembang di tengah masyarakat. Sri Gethuk adalah nama yang disematkan untuk air terjun ini. Nama ini berasal dari sebuah alat musik gamelan, yaitu kethuk. Konon, di lokasi inilah jin Angguro Menduro menyimpan kethuk. Lama kelamaan dan untuk lebih mudah mengucapkan, lafal kethuk berubah menjadi gethuk. Jadilah nama Sri Gethuk. Jadi, nama gethuk tidakk berkaitan dengan nama salah satu makanan yang terbuat dari ketela.

[caption id="attachment_152003" align="aligncenter" width="630" caption="jernih "][/caption]

Aura mistis itu akan terasa ketika kita berani diam sejenak dan menikmati kawasan air terjun ini. Terdapat 4 buah aliran air yang mengalir ke bawah. 2 buah aliran besar dan kecil bertemu di satu titik sedangkan 2 aliran lain langsung mengarah ke sungai Oya. Batu-batu besar, terjal dan licin menjadi penghiasnya. Di sela-sela bebatuan inilah mengalir air yang jernih dan segar. Air terjun ini memang jernih karena tidak berasal dari air sungai Oya, melainkan berasal dari mata air. Meskipun air sungai Oya keruh, air terjun ini tetap jernih. Dalam gemuruh air yang meluncur ke bawah dan gemericik air yang menerobos celah-celah bebatuan inilah tersembunyi harmoni alam. Harmoni alam yang terbangun inilah yang menimbulkan getaran energi yang kuat sehingga tercipta sebuah getaran mistis. Getaran mistis tak selalu berhubungan dengan kekuatan dunia lain. Getaran mistis bisa muncul dari olah cipta, rasa, dan karsa.

Harmoni alam memang menyuguhkan keindahan. Harmoni alam mengundang manusia untuk ikut menikmati serta menjaganya. Tak mengherankan jika para pengunjung menikmati harmoni alam itu denggan berbagai aktifitas. Ada yang menikmati kucuran air terjun. Sensasi mandi di tengah guyuran air terjun memang luar biasa. Ada juga yang menikmati keindahan sembari merendam kaki di aliran air yang jernih. Tidak ketinggalan: berfoto ria dengan latar belakang air terjun yang eksotik ini. Saya dan Om Dhave asyik dolanan foto. Zaza dan kedua teman asyik bermain dengan perahu karet di aliran sungai Oya. Sementara salah satu teman terpaksa duduk di antara kerindangan pohon karena sedang sakit.

[caption id="attachment_152005" align="aligncenter" width="630" caption="di balik celah bebatuan"][/caption]

Puas menikmati keindahan alam berbalut nuansa mistis, kami memutuskan untuk kembali. Mengingat banyaknya pengunjung dan hanya ada dua perahu yang melayani perjalanan, kami memutuskan untuk berjalan kaki. Jalanan tanah licin di selingi undakan yang cukup tinggi harus kami lewati. Om Dhave dan salah satu teman harus melewati medan itu dengan lutut yang dibalut. Untunglah medan itu dapat kami taklukkan hingga sampai ke areal parkir.

Ketika melawati jalanan di pematang sawah sebelum areal parkir, angan saya menerawang. Areal ini bisa dikembangkan menjadi areal wisata yang penuh daya tarik. Andai kata dibangun gubug-gubug kecil di pematang sawah dengan pemandangan mengarah ke sungai, tentu akan menambah daya tarik. Gubug-gubug itu dapat dikembangkan menajdi sebuah wisata kuliner tanpa harus merusak keindahan alamnya. Sawah harus dibiarkan seperti apa adanya. Inilah cara menjaga harmoni alam. Selain ramah lingkungan, proyek ini dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi para pengunjung. Selain wisata alam, mereka juga dapat berburu wisata kuliner makanan khas Gunungkidul. Siapakah yang bisa membuatnya? Semoga mimpiku ini akan terwujud suatu ketika nanti....

[caption id="attachment_152006" align="aligncenter" width="630" caption="foto keluarga"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun