[caption id="attachment_314219" align="aligncenter" width="620" caption="suradira jaya jayaningrat, lebur dening pangastuti. Segala sifat keras hati, picik, angkara murka, hanya bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati dan sabar"][/caption]
Dalam kisah pewayangan, ada dua lakon yang paling saya sukai. Kedua lakon itu adalah Bima Suci dan Semar mBangun Kayangan. Bagi saya, kedua lakon ini memiliki kekuatan pesan dan filosofi yang demikian mendalam. Dalam lakon Bima Suci, digambarkan Bima atau Werkudara yunior berjuang untuk mencari air perwitasari. Sebuah perjuangan yang luar biasa, bahkan ketika nyawa harus dipertaruhkan. Happy end.
Pun pula dengan kisah Semar mBangun Kayangan. Adalah Semar yang memiliki keinginan untuk mbangun Kahyangan. Ide dan gagasan ini tentu saja menggemparkan. Tidak hanya menggemparkan dunia, tetapi para dewa pun ikut gempar. Ide dan gagasan Semar menimbulkan goro-goro, chaos. Semar dianggap membangkang. Oleh karena itu, halal darah Semar tertumpah.
Persoalan utamanya adalah kesalahan memahami dan mengerti apa yang dimaksud oleh Semar. Yang mengherankan, Kresna dan Arjuna pun salah mengerti dan justru menjadi tokoh utama yang menentang keinginan Semar. mBangun Kahyangan diartikan sebagai membangun tempat para dewa. Padahal yang dimaksudkan adalah masuk ke dalam batin dan membangun kerohanian. Inilah yang kemudian mengubah cara berpikir dan cara bertindak.
Mengingat lakon Semar mBangun Kahyangan ini, saya teringat dengan revolusi mental yang ingin dibangun oleh Jokowi. Ada pemahaman yang keliru berkaitan dengan revolusi mental ini. Kekeliruan utama adalah menganggap revolusi mental sebagai sebuah gerakan yang melulu rohani atau batin yang sungguh terpisah dari kehidupan senyatanya. Pemahaman yang keliru tentu akan berpengaruh besar. Akibtanya bisa macam-macam. Misalnya salah mengimplementasikan atau bahkan bisa menimbulkan kekacauan (minimal perdebatan yang takselesai).
Dalam kisah Semar mBangun Kahyangan, Semar bermaksud membangun mentalitas tuannya (pendawa), baik batin maupun kehidupan. Ini pula yang saya tangkap dari gagasan revolusi mental ala Jokowi. Melalui gerakan revolusi mental ini, sebuah gerakan pembatinan dan perubahan hidup hendak dicapai. Gerakan revolusi mental ini terbingkai dalam sebuah pola kebudayaan. Melalui gerakan revolusi mental ini hendak dicapai sebuah habitus baru. Ada habitus baru tentu ada habitus lama. Dan berbicara soal habitus lama-baru, dibicarakan sebuah kebudayaan.
Berbicara tentang kebudayaan tidak hanya berbicara soal seni. Berbicara soal budaya berarti berbicara soal cara berpikir, rasa, dan sekaligus cara bertindak. Semuanya ini yang terungkap dalam tindakan, praktik dan kebiasaan kita sehari-hari.
Oleh karenanya, berbicara tentang revolusi mental sebenarnya berbicara tentang hidup sehari-hari. Berbicara mengenai revolusi mental kita berbicara tentang cara berpikir, cara merasa, dan sekaligus cara bertindak kita. Dan inilah yang harus dibatinkan. Inilah yang harus direka ulang sehingga terjadi perubahan konkret dari habitus lama ke habitus baru. Arah dari gerakan ini adalah terciptanya sebuah keadaban publik. Bangsa Indonesia ini semakin beradab.
Semudah membalik telapak tangan? Tentu tidak. Hanya dunia pewayangan yang mampu membuat perubahan dari habitus lama ke habitus baru itu dalam hitungan menit. Selalu ada tantangan dan perjuangan untuk menggapai buah revolusi mental. Perjuangan tidak menjadi mudah. Bahkan ketika Semar harus berhadapan dengan Arjuna dan Kresna. Meski terbayang betapa besar tantangannya, namun selalu ada pengharapan. Sebuah contoh kecil adalah peristiwa yang terjadi dalam setelah konser dua jari: gerakan membersihkan sampah sesudah pentas akbar. Luar biasa? Jika diliat, terlihat biasa dan sederhana. Namun ketika direnungkan, peristiwa sederhana itu ternyata berarti sangat besar.
Luar biasakah contoh itu? Bagi saya lebih luar biasa perjuangan seorang anak kecil yang mematikan televisi ketika acara yang disenanginya masih berlangsung lalu bergegas menuju ke kamarnya dan belajar. Atau lebih luar biasa ketika ada seorang yang biasa menyerang tulisan orang lain tanpa membacanya lalu tergerak untuk membaca, mengerti gagasannya, lalu memberikan tanggapannya dengan kepala dingin.
Revolusi mental adalah gerakan dari dalam diri dan keluar untuk mencapai keadaban publik. Karenanya bisa dimulai dengan sesuatu yang kecil dan biasa terjadi dalam hidup sehari-hari. Kuncinya: bangkit dan bergeraklah. Angkat pantat dan mulai berubah untuk sebuah habitus baru dalam cara berpikir, cara merasa, dan cara bertindak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H