[caption id="attachment_238722" align="aligncenter" width="631" caption="adegan salah satu tentara romawi yang sedang memaku tangan yesus digambarkan dengan sangat ekspresif (dok.pri)"][/caption]
Dalam sebuah perjalanan di Manado, saya mendapat kesempatan mengunjungi sebuah tempat yang menarik. Tempat itu terletak di sebuah bukit. Bukit Doa Mahawu namanya. Sebuah tempat yang sejuk dan eksotik. Bukit Doa Mahawu tampak menyatu dan berharmoni dengan alam. Situasi dan kondisi ini sangat mendukung keberadaan tempat ini sebagai sebuah tempat untuk mengolah rasa dan semakin mendekat dengan Sang Empunya Kehidupan.
Di tempat ini, saya sangat tertarik dengan patung-patung jalan salib yang ada. Pertama kali melihatnya, saya merasakan ada sebuah pancaran energi yang sangat kuat dari pembuatnya. Selidik punya selidik, sang pembuat patung-patung jalan salib itu adalah Teguh Ostenrik. Dia adalah salah satu seniman besar di negeri ini. Teguh lahir di Jakarta, pada tahun 1950. Tak tanggung-tanggung, seniman besar ini mengenyam pendidikan seni di Jerman. Ia menyelesaikan pendidikan di Akademi Grafis Lette Schüle (1972) dan Hochschule der Künste (1974).
[caption id="attachment_238723" align="aligncenter" width="540" caption="sosok keibuan bunda maria ketika bertemu dengan dengan yesus dalam via dolorosa. ketegaran sekaligus kegelisahan seorang ibu bercampur dalam sebuah karya seni (dok.pri)"]
“Teguh adalah seorang Muslim” demikian penjelasan Pak Tri yang setia menemani perjalanan kami selama di Manado. Semakin terperanjatlah saya mendengar penuturannya. Bagaimana mungkin seorang Muslim bisa membuat sebuah karya seni yang demikian hidup dan memiliki kedalaman refleksi yang luar biasa? Itulah pertanyaan yang demikian menyeruak pikiran saya.
Dalam Gereja Katolik, dikenal sebuah devosi jalan salib. Dalam devosi ini hendak dikenang kembali peristiwa penyaliban Yesus. Untuk lebih membantu penghayatan umat, pengenangan dan penghadiran kembali peristiwa yang sudah terjadi ribuan tahun lalu itu dibantu dengan keberadaan gambar atau patung yang memberikan gambaran peristiwanya. Gambar atau patung yang terdiri dari 14 perhentian itu merupakan alat bantu saja bagi umat sehingga mampu masuk dalam misteri yang dirayakan. Oleh karenanya, gambar atau patung yang ada saat ini tidak pernah sama satu sama lain. Perhentiannya sama: 14. Tetapi ada banyak seniman yang memberi kekayaan dengan menciptakan gambar atau patung atas keempat belas peristiwa tersebut.
[caption id="attachment_238724" align="aligncenter" width="360" caption="pencahayaan alami menyebabkan karya sang maestro menjadi lebih hidup. peristiwa yesus ditolong simon menjadi semakin berkarakter (dok.pri)"]
Keberadaan 14 peristiwa jalan salib itu bukanlah sebuah peristiwa sekali jadi, melainkan sebuah proses sejarah kekatolikan itu sendiri. Puncak kepopuleran devosi jalan salib terjadi pada abad XIV. Adalah Fransiskus Asisi yang mempopulerkan devosi ini. Devosi ini kemudian merebak ke setiap gereja. Dibuatlah pemberhentian-pemberhentian/stasi kecil di dalam gereja. Para Rahib Fransiskan juga menciptakan lirik Stabat Mater yang sampai kini selalu dinyanyikan untuk mengiringi devosi jalan salib ini. Lirik ini telah tersebar dan diterjemahkan ke berbagai bahasa. Devosi ini ditetapkan secara resmi sebagai devosi Gereja oleh Paus Clement XII (1730-1740). Dan ke-14 pemberhentian inilah yang sampai kini diterapkan oleh Umat Katolik.
[caption id="attachment_238725" align="aligncenter" width="540" caption="adegan yesus yang terjatuh dan tertindah salib (dok.pri)"]
Sungguh luar biasa. Di tangan seorang seniman besar, setiap peristiwa dalam devosi jalan salib itu diberi roh rohani yang berangkat dari kedalaman batinnya. Dari sudut pandang keyakinannya, Teguh memberikan perspektif lain atas sebuah karya seni yang telah mengakar dalam diri setiap orang katolik. Melalui karya luar biasa itu, Teguh mengajak siapa pun yang berdoa melalui kisah jalan salib untuk masuk dalam setiap misteri yang terkandung dalam setiap perhentian.
Di negeri ini, persoalan agama adalah persoalan yang demikian sensitif. Toh demikian, sang maestro ini berani melewati batas dan sekat itu. Dalam kaca mata saya, seni adalah jiwa. Seni tak mengenal agama. Seni mampu merasuk ke dalam jiwa dan karenanya mampu menggetarkan para penikmatnya. Pada titik ini, Teguh mampu membuatnya. Ia dengan segala latar belakangnya mampu mengaduk-aduk jiwa para peziarah yang datang ke bukit Doa Mahawu untuk mengadakan doa jalan salib. Berbagai simbol dan ekspresi yang ditampilkan Teguh demikian menyatu dengan alam. Uniknya, ia mampu melakukan itu dengan tanpa kehilangan makna atas peristiwa jalan salib itu. Ia membuat prosesi itu justru menjadi lebih dekat dan menyatu dengan para peziarah.
[caption id="attachment_238726" align="aligncenter" width="540" caption="dari titik inilah prosesi devosi jalan salib di mulai. penataan lokasi yang asri di perbukitan mahawu menjadikan lokasi ini demikian nyaman untuk berolah rasa dan rohani (dok.pri)"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H