Mohon tunggu...
yswitopr
yswitopr Mohon Tunggu... lainnya -

....yang gelisah karena sapaan Sang Cinta dan sedang dalam perjalanan mencari Sang Cinta

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Di Balik Pesan Jokowi: Ada yang Kentutkah?

19 Juli 2014   18:32 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:53 1315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_315990" align="aligncenter" width="620" caption="salah satu warga tampak serius mengamati papan informasi pilpres 2014"][/caption]

Hari ini, Jumat 18 Juli 2014, ada yang menarik perhatian saya. Tidak lain adalah perkataan sekaligus ajakan Jokowi. “Saya sampaikan sekali saja, mulai hari ini saya juga tidak memakai atribut-atribut yang nomor 2, baik itu kotak-kotaknya, avatarnya, bajunya, semuanya," kata Jokowi di Masjid Sunda Kelapa, Menteng, Jakarta Pusat. Saya pun segera berselancar mencoba mencari tahu ada apa di balik pernyataan Jokowi tersebut. Siapakah yang kentut dan meninggalkan bau tak sedap?

Pernyataan Jokowi bukan hal yang aneh. Pernyataan Jokwi adalah pernyataan standart yang mengajak siapa pun untuk menjaga situasi kondusif pada saat pengumuman hasil Pilpres 22 Juli 2014 yang akan datang. Dengan menanggalkan segala atribut, Jokowi mengajak masyarakat untuk kembali memikirkan bangsa Indonesia. Tidak ada lagi kamu atau aku, yang ada adalah kita sebagai bangsa Indonesia.

Namun, pernyataan Jokowi itu bisa menjadi sesuatu yang luar biasa ketika dibaca dalam konteks situasi menjelang pengumuman hasil Pilpres oleh KPU. Berbagai peristiwa yang terjadi kiranya menjadi latar belakang yang patut diperhatikan. Akhir-akhir banyak bersliweran isu-isu yang entah dari mana datangnya. Selain isu, ada juga beberapa fakta yang entah bagaimana harus dibaca. Jika pernyataan Jokowi dibaca dari konteks itu, tampaknya ada sebuah makna yang demikian mendalam dan jelas untuk didiskusikan.

Dalam beberapa kesempatan, terlontar seruan dan himbauan untuk mengawal proses penghitungan hasil Pilpres 2014. Salah satu bentuknya adalah pengerahan massa untuk menjaga proses penghitungan yang dilakukan oleh KPU. Untuk apakah pengerahan massa ini? Rupa-rupanya, pengerahan massa ini dimaksudkan untuk menjaga suasana agar tetap aman dan kondusif. Pengerahan massa ini bukan untuk menimbulkan kerusuhan. Pengerahan massa ini semata-mata untuk menjaga supaya KPU tidak merasa terintimidasi.

Kiranya menarik, membaca pernyataan ini. Siapa yang bertanggung jawab atas keamanan di negeri Indonesia ini? Bukankah sudah ada TNI dan Polri? Mengerahkan massa justru bisa menjadi sebuah argumen kontra atas apa yang diucapkan itu. Kita sama-sama tahu bagaimana psikologi massa di negeri ini. Kita bisa belajar dari pengalaman masa lalu. Pengerahan massa menjadi sesuatu yang riskan. Alasan untuk menjaga KPU supaya tidak terintimidasi pun kiranya menjadi sesuatu yang naif. Apakah tidak sebaliknya, ketika ada puluhan, ratusan, atau bahkan ribuan massa dengan atribut tertentu suasana intimidatif justru muncul. Massa itu pastilah memiliki kepentingan. Apa yang akan terjadi ketika ternyata keputusan KPU tidak sesuai dengan kerumunan massa itu?

Ajakan Jokowi tepat. Meninggalkan segala atribut untuk menghindari situasi yang paling tidak diinginkan. Mengapa harus meninggalkan segala atribut? Sudah jamak, kita melihat dan menilai segala sesuatu dari yang tampak. Ketika melihat segerombolan orang dengan pakaian putih dengan gambar garuda merah kita akan dengan mudah menilai itu dari pasangan nomer urut 1. Ketika melihat segerombolan orang dengan baju kotak-kotak, kita akan segera menilai bahwa itu dari pasangan nomer urut 2. Dengan meninggalkan segala macam atribut, tidak ada lagi kelompok nomer urut 2 atau nomer urut 1. Yang ada adalah bangsa Indonesia. Yang ada adalah kepentingan bangsa, bukan lagi individu atau partai. Ketika atribut sudah ditanggalkan dan ada yang terlukai, bukan lagi kelompok yang dilukai namun banga Indonesialah yang terlukai.

Jika sudah demikian, siapa yang menjadi korban? Elite politikkah? Sama sekali bukan. Elit politik hanyalah sebuah tirani kekuasaan yang memungut kata masyarakat sebagai tameng untuk mendapatkan kekuasaannya. Yang menjadi korban adalah masyarakat. Siapa pun yang kentut, masyarakatlah yang akan merasakan baunya. Jika bisa, mungkin baik menyediakan ring tinju untuk para elite politik yang telah terbiasa bermanis kata itu. Biarkan mereka bertarung satu lawan satu dan menjadi tontonan masyarakat. Ini tentu lebih gentle ketimbang membuat masyarakat bertarung satu sama lain.

[caption id="attachment_315991" align="aligncenter" width="620" caption="pilpres: untuk siapakah?"]

14057443171689203804
14057443171689203804
[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun