[caption id="attachment_261944" align="aligncenter" width="620" caption="asyiknya motret aktifitas jalanan. untungnya di negeri ini, aturan motret tidak seketat seperti di luar negeri"][/caption]
Membuncah rasa bangga ketika melihat foto-foto karya ibu negara, ibu Ani. Dalam hati bergumam, “Ibu negaraku seorang fotographer”. Rasa bangga itu muncul, karena saya pun juga suka dengan foto meski jurus aspret masih menjadi andalan.
Karena kesenangan itu, saya ikut belajar di Kampret, sebuah komunitas yang berisi para kompasianers yang hobby foto. Di komunitas itu saya belajar banyak. Rasa bangga itu memunculkan ide nakal: berani ga admin Kampret ngundang ibu negara ikutan gabung? Kalau ibu negara bersedia gabung, beliau bisa menajdi sesepuh dan suhu di Kampret. Sapa tahu juga, kalau ada event-event Kampret beliau bersedia jadi donaturnya. Bahkan, terbayang di benak saya ketika ada kopdar Kampret, ibu negara bersedia hadir. Sesuatu banget kan?
[caption id="attachment_261946" align="aligncenter" width="620" caption="di kampret akan sering ketemu moment seperti ini. membayangkan ibu Ani ikut Kampret"]
Sepertinya hanya mimpi. Sebab rasa bangga itu sedikit meluntur ketika melihat sebuah foto. Dalam sebuah acara kenegaraan, ibu Ani sedang asyik motret dari kursi kehormatan. Beberapa waktu lalu, dan selalu terulang, terjadi kehebohan dalam perayaan Waisak di candi Borobudur. Ketika para fotografer bertindak semena-mena dalam sebuah ritual keagamaan. Kejadian itu kembali terulang dalam peristiwa yang berbeda. Di beberapa jejaring sosial dibahas kisah dua orang fotographer yang lagi-lagi semena-mena ketika mengambil foto dalam sebuah perayaan sholat id (semoga tidak salah, karena saya cari linknya tidak ketemu). Persoalan utamanya adalah etika dan tata krama.
Bagaimana ketika seorang ibu negara dalam sebuah upacara kenegaraan yang demikian ketat aturan protokolernya justru asyik memotret? Apakah hujatan bagi fotographer yang meminggirkan etika hanya berlaku untuk fotographer biasa dan tidak berlaku bagi seorang ibu negara?
Dalam pemikiran saya, upacara negara adalah sebuah peristiwa mahapenting. Upacara kenegaraan tidak sama dengan sekumpulan anak-anak SD yang sedang mengibarkan bendera. Upacara kenegaraan selalu berkaitan dengan peristiwa-peristiwa penting negara. Sifatnya demikian resmi. Saya sungguh tidak mengerti dengan aturan protokoler kenegaraan. Hanya muncul pertanyaan: apakah dalam aturan protokoler kenegaraan, diperbolehkan membawa peralatan foto dan melakukan aktifitas memotret dari kursi kehormatan?
Enak memang memotret dari kursi kehormatan. Sudut pandang yang pasti berbeda dengan fotographer yang lain. Hasilnya pasti lebih wowww juga. Tapi, taklengkap rasanya kalau hobby motret belum merasakan dlosoran direrumputan liat. Belum lengkap ketika belum merasakan badan bentol-bentol demi sebuah foto yang ciamik.
[caption id="attachment_261948" align="aligncenter" width="620" caption="dijamin bentol-bentol nih badannya"]
Bagi saya, foto tidak hanya masalah hasil akhir. Dunia foto mengajarkan kepada saya sebuah proses. Belajar memotret juga mengajari saya belajar mengenai etika. Ada satu pengalaman menarik dari seorang fotografer Kompas ketika sedang liputan di Muntilan (lupa namanya). Sebuah pengalaman yang tidak saya lupakan sampai sekarang. Fotografer itu mengambil sebuah titik di kerumunan fotografer. Ia mengambil beberapa foto. Lalu, apa yang ia lakukan? Ia meninggalkan titik itu dan mempersilahkan yang lain untuk menggunakannya. Simple tapi bermakna luar biasa bagi saya.
[caption id="attachment_261949" align="aligncenter" width="620" caption="asyiknya motret ketika tidak ada aturan protokoler"]
Nah, karena pemikiran-pemikiran itu, saya jadi berpikir ulang. Saya tidak jadi menantang admin Kampret untuk mengundang ibu Ani menjadi member Kampret. Nanti malah repot kalau anggota Kampret diundang untuk kopdar pada saat ada upacara kenegaraan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H