Ada orang bilang anak adalah buah hati. Anak adalah belahan jiwa. Apakah memang demikian adanya? Ada sekian banyak orang tua yang memperlakukan anak-anak mereka sebagai buah hati dan belahan jiwa. Namun, tidak sedikit juga orang tua yang lari dari tanggung jawab itu. Karenanya, ada sekian ribu anak yang terbuang.
Saya tertegun ketika mengamati tingkah polah anak-anak kecil itu. Tingkah polah ceria, lucu, dan menggemaskan. Namun dalam hitungan detik terjrani perubahan sikap yang drastis. Tatapan mata yang bersinar berubah menjadi tatapan mata yang kosong. Ada yang hilang dari jiwa anak-anak itu. Anak-anak itu adalah anak-anak panti asuhan Betlehem di Temanggung, Jawa Tengah. Mereka adalah anak-anak yang terenggut (atau direnggut) dari keluarganya. Kasih sayang dari orang tua yang mestinya mereka nikmati, tidak mereka dapatkan. Saat-saat indah bersama keluarga hanya menjadi angan-angan karena mereka sekarang berada di panti asuhan.
“Adik rumahnya mana?” tanyaku kepada serang anak yang duduk di dekatku.
“Ya sini to, Om!” jawab anak itu singkat, padat dan jelas. Ranti namanya. Jawaban ini membuat saya berpikir tentang nasib anak ini. Dalam pembicaraan selanjutnya, Rani pun tidak tahu siapa orang tuanya. Ketika ditanya siapa orang tuanya, Rani hanya menunjuk ibu pengasuhnya. Baginya, ibu pengasuh adalah orang tuanya karena merekalah yang mengasihi mereka. Meskipun sering marah juga. Dan keluarganya adalah teman-teman mereka di panti asuhan itu.
Sungguh anak yang terbuang. Rani adalah salah satu dari sekian banyak anak yang tidak mengetahui orang tuanya dan harus terdampar di panti asuhan. Jika menggunakan kosakata orang jawa, Rani masih beruntung. Rani bisa hidup di panti asuhan. Mengapa beruntung? Ada banyak anak-anak yang sama-sama terbuang, tapi mereka hidup di jalanan atau kolong jembatan. Anak-anak kolong ini tidak mendapatkan kasih sayang dari orang tua, selain sebentuk solidaritas dari teman-teman yang senasib dengan mereka. Sahabat yang selalu mau mengerti mereka adalah sekaleng lem yang bisa membuat mereka terbang dan meraih kebahagiaan semu. Atau keluarga semu karena mereka di bawah kekuasaan preman-preman kesiangan yang memanfaatkan tenaga mereka untuk mengumpulkan koin demi koin.
Rani adalah wakil dari anak yang menajdi penghuni panti asuhan karena tercabut atau dicabut dari orang tua. Ada sekian banyak anak yang menjadi penghuni panti asuhan karena tidak tahu siapa orang tua mereka. Apakah kata kasihan cukup untuk Rani dan teman-temannya?
Lain lagi kisah Dian. Gadis kecil yang tomboi dan usil khas anak seusianya. Dian berasal dari keluarga kaya. Papanya seorang pengusaha. Sedang mamanya adalah seorang wanita karier.
“Dian nakal, ya?”
“Ga kok Om” katanya polos.
“Kok bisa di sini? Pasti kalau di rumah nakal. Atau sering ganggu papa dan mama?”
“Papa dan mama tidak ada waktu buat Dian. Mereka sibuk kerja” tiba-tiba Dian menunduk. Matanya berkaca-kaca. Ada kesedihan dan kerinduan dari raut wajahnya. Kesedihan karena ia jauh dari orang tuanya. Sekaligus rindu untuk berkumpul bersama orang tuanya. Apa daya. Orang tua Dian mengirimnya ke panti asuhan karena mereka tidak mempunyai waktu untuk mengasuh mereka. Pagi mereka bekerja. Malam baru pulang. Panti asuhan menjadi tempat paling tepat bagi Dian supaya ia bisa dididik dengan baik.
Tertarik dengan Dian, saya mencoba bertanya kepada pengasuhnya. Memang benar. Dian adalah anak orang kaya. Setiap bulan, mereka mengirimkan biaya untuk hidup Dian. Dana yang lebih dari cukup. Bahkan dari orang tua Dian, panti asuhan bisa membantu penghidupan anak-anak yang lain. Orang tua Dian menjadi salah satu donatur penopang kehidupan panti asuhan.
Dian adalah sisi lain dari penghuni panti asuhan. Jika Rani adalah anak yang tinggal di panti asuhan tanpa tahu siapa orang tuanya, maka Dian adalah anak yang tinggal di panti asuhan karena orang tua mereka tidak bisa mengasuhnya. Dian menjadi wakil dari anak-anak yang terbuang dari keluarga dan terpaksa menjadi penghuni panti asuhan. Segala kebutuhannya tercukupi. Tapi ada satu hal yang tidak ia dapatkan: kasih sayang dari orang tua. Kesibukan sering menjadi alasan untuk membenarkan tindakan yang salah dan tidak bertanggung jawab. Ada sekian banyak orang tua yang berpikir bahwa mencukupi kebutuhan materiil anak sudah cukup. Dan ketika mereka mendapati anak sebagai biang pengganggu karena kenakalannya, panti asuhan adalah tempat yang tepat untuk mereka. Apakah memang demikian?
Lagu anak-anak berjudul Kasih Ibu seperti menjadi pengantar tidur yang tidak ada maknanya. Kasih sayang orang tua adalah yang utama dan terutama. Materi bukan yang utama. Materi hanyalah sarana. Memenuhi segala keinginan dan kebutuhan anak bukan pilihan bijak untuk menunjukkan betapa orang tua mengasihi anaknya. Mungkin Anda akan tercengang ketika Anda mendapati anak Anda menjadi seorang pemberontak meski pun Anda sudah memenuhi segala kebutuhannya. Mengapa? Karena Anda mengukur kasih sayang dari sudut pandang materiil. Anak menjadi seorang pemberontak karena ia mencari jati diri dan kasih sayang dari orang tua. Mereka inginmenyadarkan orang tua seturut cara mereka.
Anak adalah buah hati, bukan buah tangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H