Mohon tunggu...
yswitopr
yswitopr Mohon Tunggu... lainnya -

....yang gelisah karena sapaan Sang Cinta dan sedang dalam perjalanan mencari Sang Cinta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Air: Berkat Atau Kutuk?

23 Juni 2010   05:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:21 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Banjir bandang menerjang dua negara bagian di Brasil timur laut, menyebabkan setidaknya 1.000 orang hilang dan sekitar 100.000 orang terpaksa mengungsi. Berita hangat ini bisa dibaca dalam Kompas.com hari ini, Rabu 23 Juni 2010. Berita yang sangat mengejutkan setelah peristiwa yang kurang lebih menimpa negara tetangga, Singapura.

Melihat, membaca, dan mengamati fenomena itu muncul pertanyaan dalam benak saya. Mengapa air yang merupakan zat yang penting dalam kehidupan umat manusia itu bisa mengamuk? Peristiwa-peristiwa ini tentu bukan hanya semata-mata karena kejadian alam yang serba kebetulan. Peristiwa ini merupakan pertanda dan isyarat bagi umat manusia. Tentu tidak dengan mudah lalu kita mengatakan bahwa Tuhan sedang mengutuk manusia. Ah, apakah Tuhan demikian kejam? Tapi mestinya peristiwa itu mengajak kita untuk bermenung tentang perilaku kita sendiri berhadapan dengan kearifan alam. Kita bisa melihat perilaku kita dalam meneruskan karya penciptaan Tuhan.

Saya jadi teringat dengan keponakan saya. Ketika saya mengajaknya bermain ke sungai kecil di depan rumah, selalu muncul pertanyaan-pertanyaan yang membuat saya berkerut-kerut untuk menjelaskannya. Pertanyaannya sederhana, tapi jawabannya bisa menjadi sebuah bahan skripsi.

“Om, kok airnya berwarna coklat ya? Coba airnya jernih, pasti aku dah mandi dan bermain di sini” katanya sambil menunjuk air sungai yang memang berwarna coklat dan sangat keruh.

“Oh, itu karena adanya erosi. Air melarutkan tanah. Jadilah airnya bercampur tanah. Karena itulah warnanya menjadi coklat dan keruh” jawabku sekenanya. Keponakanku manggut-manggut. Ada ketidakpuasan atas jawabanku.

“Gitu ya, Om? Tapi kalau begitu, mestinya sungai jadi tambah lebar. Lha ini kok sungainya segitu saja ya Om?” muncul pertanyaan cerdas lagi. Pingin menggerutu, tapi kok sama anak kecil. Sambil garuk-garuk kepala, saya mencoba menjelaskan kepada keponakan saya.

“Gini lho. Air ini kan sumbernya dari bukit sana itu. Nah, sekarang lihat apa yang terjadi dengan bukit itu. Sekarang bukit itu telah gundul. Akibatnya, ketika hujan turun, air menggerus tanah yang gundul itu. Lalu, air itu mengumpul di sungai dan sampai di tempat kita ini. Air yang tadinya jernih, ketika bercampur dengan tanah dari bukit itu menjadi coklat dan keruh. Kalau hujannya deras, bukit yang gundul itu bisa longsor. Tidak hanya itu, bisa juga terjadi banjir ketika tanah tidak lagi bisa menyerap air itu” sahutku berusaha menjelaskan pertanyaan keponakanku itu.

Tanpa disadari, keinginan manusia untuk menguasai bumi menjadi kelewat batas. Manusia demikian rakus demi tercapainya kebutuhan. Akibatnya, keseimbangan alam tidak lagi diperhatikan. Hutan dibabat dan dibiarkan begitu saja. Dan ketika terjadi bencana, apa yang dilakukan? Dengan semangat empat lima langsung menyalahkan pemerintah yang tidak memperhatikan masyarakat dan tidak tanggap dengan situasi. Atau ketika sungai meluap karena terjadi pendangkalan, mengapa kita tidak berani bertanya pada diri sendiri: berapa meter kubik andil kita terhadap pendangkalan itu? Bukankah pendangkalan itu terjadi karena tumpukan sampah yang dilemparkan begitu saja ke sungai?

Sambil terus berjalan menyusuri sungai, saya disuguhi pemandangan embun yang berkilauan terkena sinar mentari pafi. Terasa adem dan tenteram menikmati kesegaran hawa pegunungan yang masih bersih. Terbayang dalam benak saya sebuah sungai dengan airnya yang jernih. Sungai yang jernih dengan ikan-ikannya yang beraneka ragam. Demikian menarik untuk dinikmati. Mancing pun jadi betah. Apakah sungai yang seperti itu masih ada di negeri ini?

“Dik, ambil bungkus snacknya!” teriakku kepada keponakanku yang sengaja membuang bungkus makanan kecil ke sungai.

“Ga apa-apa to, Om? Kan ntar bungkusnya juga hanyut!” keponakanku masih membantah perintahku.

“Ya begini ini yang bikin kacau. Satu orang membuat satu bungkus snack. Kalau ada banyak orang yang melakukannya, apa tidak penuh sungai ini dengan sampah?” tanyaku.

“Ya iya sich, Om. Tapi kan perintahnya “Buanglah sampah”. Nah aku kan membuangnya. Jadi ga salah kan, Om?”

Umpan balik yang cerdas. Yang namanya membuang memang suka-suka yang melakukannya. Tidak mengherankan jika di negeri ini yang namanya sampah bertebaran di mana-mana. Apa yang dikatakan keponakanku bener juga. Mungkin sudah saatnya kita mengganti slogan “membuang sampah” dengan “menaruh sampah” atau “meletakkan sampah”. Dengan kata menaruh atau meletakkan akan muncul kesadaraan menempatkan tempat sampah sesuai peran dan fungsinya. Tempat sampah menjadi tempat orang untuk meletakkan atau menaruh sampah. Sungai bukan tempat untuk meletakkan sampah. Ketika habitus lama ini tergantikan, maka sungai akan menjadi tempat penghidupan untuk manusia. Sungai akan menjadi tempat menarik untuk wisata atau memancing. Sungai bisa menjadi sahabat yang ramah ketika diperlakukan dengan ramah pula. Tetapi sungai bisa menjadi sebuah kutukan ketika tangan-tangan jahil dan tak bertanggung jawab memulai mempermainkannya.

Anda memilih yang mana?

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun