[caption id="attachment_243630" align="aligncenter" width="630" caption="narsis, salah satu efek urban life"][/caption]
Tantangan foto komunitas Kampret adalah Urban Life. Apakah urban life itu? Inilah pertanyaan yang menarik perhatian saya. Setiap berbicara tentang urban life, foto yang diberikan atau dimunculkan berkaitan dengan foto simbok-simbok yang sedang menggendong sesuatu di tengah panas terik matahari, atau seseorang yang naik sepeda di tengah keramaian jalan, atau yang kurang lebih senada dengan itu.
Berangkat dari pertanyaan itu, saya mencoba melihat urban life dari sisi orang muda. Apalagi, komunitas Kampret adalah kompasianers yang masih muda-muda. Jika tidak percaya, tanya saja anggota Kampret. Dengan bangga mereka akan memperkenalkan diri mereka dan berusia sekitar 17-18 tahun. Muda kan? Lagi, belum lama ini beberapa orang anggota Kampret mengadakan kopdaran di Jogja. Kopdar tersebut dilangsungkan pada tanggal 12-13 Mei 2013. Ahai.. gayung bersambut. Tanpa disadari, temen-temen Kampret itu menjadi sasaran penelitian sederhana tanpa sistematika atas pengertian urban life.
Sejauh menggagapi, urban life pasti berkaitan erat dengan dengan urbanisasi. Urban life dipengaruhi dua faktor penting, yaitu kota dan desa atau dengan sudut pandang lain modernitas dan tradisional. Dengan sedikit berani, saya menyebut bahwa urban life adalah cara hidup seseorang atau komunitas sebagai akibat dari benturan peradaban kota-desa. Oleh karena itu, urban life sangat berkaitan dengan aneka bentuk perlawanan, entah perlawanan atas budaya kota atau perlawanan atas budaya desa.
Salah satu tanda mencolok dari urban life adalah gaya hidup. Gaya hidup ini bisa terwujud dalam aneka sisi kehidupan. Asyik dengan diri sendiri adalah salah satu cerminan dari urban life. Masyarakat urban cenderung tidak demikian peduli dengan keadaan sekitar atau lingkungan. Fenomena ini bisa terlihat ketika ada beberapa orang yang berkumpul. Bisa dipastikan akan ada satu dua orang dalam komunitas itu yang asyik dengan handphone, gadget, atau barang kesukaannya. Pada bagian ini, komunitas Kampret menunjukkan ciri yang mencolok. Entah banyak atau sedikit anggota Kampret yang berkumpul, mereka pasti akan asyik dengan kesukaan mereka sendiri: kamera. Kopdar bagi Kampret sama dengan kesempatan mengambil kelengahan sahabat dan mengabadikan moment unik. Ketika kumpul, jaga diri supaya tidak menjadi incaran kamera.
[caption id="attachment_243632" align="aligncenter" width="360" caption="narsis dulu di tugu jogja"]
Urban life juga membentuk tipikal masyarakat yang narsis. Ketika kita sedang jalan-jalan, kita sering melihat sekelompok orang yang sedang berkerumun dan mengabadikan keberadaan mereka. Bisa beraneka ragam alat yang digunakan. Bisa menggunakan handphone, kamera pocket, atau bahkan dslr sekalipun. Kadang, mereka tidak peduli dengan keadaan sekitar. Meskipun situasi sekitar ramai, mereka segera ambil posisi dan cekrek. Foto dilayar segera dilihat bareng-bareng. Tidak lama kemudian, foto itu akan segera terpasang di berbagai media jejaring sosial.
[caption id="attachment_243633" align="aligncenter" width="540" caption="asyik dengan diri sendiri"]
Kampret pun demikian. Di mana anggota berkumpul, sudah bisa dipastikan puluhan foto akan dihasilkan dan dipamerkan kepada anggota yang lain, entah melalui reportase di Kompasiana atau di grup. Foto session yang tidak pernah terlewatkan adalah foto bersama di lokasi dimana anggota berkumpul. Kesempatan foto ini pasti ditunggu-tunggu oleh para anggota, kecuali mereka yang telah pulang duluan. Sudah bisa dipastikan hanya akan bisa teriak-teriak karena tidak punya bukti foto bareng di tempat itu.
[caption id="attachment_243635" align="aligncenter" width="540" caption="pulang duluan sih, jadi ga ikut foto deh... "]
Gaya hidup lain berkaitan dengan urban life adalah kuliner. Kebutuhan pokok setiap manusia ini menjadi salah satu bagian dari gaya hidup yang semakin hari semakin meningkat. Warung makan yang menawarkan makanan-makanan khas tumbuh bak jamur di musim hujan. Pada budaya kuliner ini, anggota Kampret terpecah menjadi dua. Ada anggota yang demikian getol. Di manapun yang dibahas dan diteriakkan soal makanan. Sebentar-sebentar bilang lapar ketika sedang ada acara dolan-dolan. Sebagian besar justru tidak begitu kelihatan mencolok. Hal ini tentu berkaitan dengan hobby yang ditekuni. Seseorang yang memiliki hobby motret tentu membutuhkan kelincahan bergerak. Tidak jarang, membutuhkan gaya-gaya ekstrem. Bagi anggota yang menjaga penampilan demi tujuan ini, budaya kuliner tidak terlalu kelihatan mencolok.
[caption id="attachment_243634" align="aligncenter" width="540" caption="wahhhh... ga berani kasih caption utk foto ini"]
Ternyata, di balik kopdar sederhana kemarin saya belajar tentang arti urban life. Dalam kopdar sederhana untuk mempersiapkan kopdar besar yang akan diadakan bulan Juni nanti, saya semakin mengenal berbagai karakter keluarga besar Kampret. Dinamika yang ada menjadikan masing-masing anggota tumbuh bersama berbagi hobi dengan caranya sendiri-sendiri. Karena kebersamaan itulah, rencana pameran di Jerman pun coba direalisasikan. Tanpa anggota, apalah arti Kampret. Suasana inilah yang sulit saya maknai dalam urban life. Mungkin, ini merupakan salah satu bentuk perlawanan atas budaya itu.
[caption id="attachment_243636" align="aligncenter" width="393" caption="kapan lagi bisa ngerjain pembicara dalam Kompasiana Blogshop Fotografi akhir mei mendatang"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H