[caption id="attachment_214860" align="aligncenter" width="540" caption="Barnabas menerima Kitab Suci dari Romo Van Lith. Van Lith memberikan pengajaran atas isinya. (yswitopr)"][/caption]
“Bertahun-tahun kakiku ini tidak bisa sembuh. Sekarang, kakiku sembuh berkat belas kasih Allah. Oleh karena itu, aku, Sarikromo, bernadar adakan menggunakan kedua kakiku ini untuk mewartakan Allah. Kiranya Allah sendiri yang berkarya melalui kata dan perbuatanku!” Inilah puncak pergulatan seorang Barnabas Sarikromo, pewarta iman pertama di perbukitan Menoreh. Berkat pewartaannya di sekitar Kalibawang, iman Katolik tumbuh subur hingga sekarang. Kegigihan Barnabas Sarikromo dalam mewartakan iman Katolik di tengah tantangan zaman saat itu ditandai dengan dibabtisnya 171 orang di sebuah sendang yang berada di bawah pohon Angsana. Kini, tempat itu dikenal dengan Gua Maria Lourdes Sendangsono.
Minggu, 16 Desember 2012, kisah Barnabas Sarikromo dimunculkan kembali. Adalah sekelompok orang muda Katolik dari paguyuban Sendratari Sumur Kitiran Mas Pakem yang mengangkat kembali kisah Barnabas Sarikromo menjadi sebuah bahan permenungan. Kisah Barnabas ditampilkan kembali dan dikemas dalam sebuah bentuk sendratari. Lika-liku pergulatan Barnabas Sarikromo diolah dan ditampilkan. Sarikromo muda yang gemar mencari ngelmu kejawen memiliki kebiasaan bertapa di tempat-tempat wingit. Suatu hari, Sarikromo menderita sakit “cecek” yang tak bisa disembuhkan. Setelah mengalami sebuah penampakan, Sarikromo memutuskan untuk mencari obat dengan ngesot menuju ke arah Timur Laut. Berbagai godaan dan tantangan dihadapi Sarikromo sampai ia bertemu dengan Br. Kersten dan Romo Van Lith. Di Muntilan itulah Sarikromo sembuh dan tertarik untuk menjadi seorang Katolik. Ia dibabtis pada tanggal 20 Mei 1904 bersama 3 orang temannya.
[caption id="attachment_214861" align="aligncenter" width="486" caption="Sarikromo yang menderita sakit cecek berjalan tertatihh dituntun oleh sang pamomong menuju ke arah Timur Laut (yswitopr)"]
Ketertarikannya itu takterbendung. Bahkan, dengan bekal sebuah Kitab Suci pemberian Romo Van Lith ia menceritakan kisah hidupnya dan mengajar orang-orang di sekitar perbukitan menoreh. Tantangan tak pernah berhenti. Tetapi Barnabas Sarikromo telah bertekad untuk mengabdikan hidupnya untuk mewartakan Kristus di Menoreh. Akhirnya, 171 orang dibabtis di sebuah sendang di bawah pohon sono pada tanggal 14 Desember 1904. Kegigihan Barnabas Sarikromo itu diakui oleh Gereja. Ia pun mendapat anugrah bintang Pro Ecclesia et Pontifice dari Paus Pius XI. Penghargaan itu diterima Barnabas pada tahun 1929, yaitu dalam peringatan Jubilium perak misi di tanah Jawa
Melalui kisah itu, umat Katolik diajak untuk menyadari bahwa melalui baptisan yang telah diterima umat dipanggil untuk diutus menjadi pewarta-pewarta Sabda Sejati. “Iman tidak bisa dilepaskan dari konteks budaya, melalui kisah Barnabas yang kami angkat dalam bentuk sendratari ini, kami ingin membagikan permenungan bahwa iman harus mampu mengakar dalam konteks budaya. Buktinya, Barnabas mampu membawa iman Katolik dalam konteks budaya yang masih kental rasa kejawennya. Zaman ini pun sama. Bagaimana membawa iman katolik dalam konteks budaya sekarang?” demikian penjelasan Eka Pustikarini, penata tari dalam pementasan itu.
“Mengingat permenungan yang kami tawarkan cukup berat, maka sendratari ini menyatu dengan perayaan Ekaristinya. Sendratari dan Ekaristi menjadi satu bagian sehingga umat akan semakin sadar dengan perutusannya” ungkap Romo Wito selaku penanggungjawabnya. Tidak mengherankan jika Kitab Suci yang dibawa oleh Barnabas Sarikromo kemudian diserahkan kepada Mgr Yohannes Pujasumarto, selaku konselebran utama dalam perayaan Ekaristi peringatan 108 tahun pembaptisan di Sendangsono. Bapak Uskup Keuskupan Agung Semarang didampingi oleh Mgr Blasius Pujaraharja dan Bapak Yulius Kardinal Darmaatmadja.
[caption id="attachment_214862" align="aligncenter" width="324" caption="perarakan pembuka ekaristi yang dipimpin Mgr Yohannes Pujasumarto (yswitopr)"]
Setelah perayaan Ekaristi yang meriha itu, acara dilanjutkan dengan pesta umat yang menyuguhkan aneka makanan tradisional. Sorenya, diadakan acara seremonial pencanangan penataan dan pengembangan kawasan Sendangsono. Acara seremonial itu dihadiri oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Menteri Pertahanan Purnono Yusgiantoro, dan seluruh Panitia Pengembangan Sendangsono.
Kehadiran para tokoh itu menjadi sebuah pertanda eksistensi Gua Maria Sendangsono. Selain ikut mengembangkan iman Katolik, Gua Maria Sendangsono ikut serta berperan dalam kehidupan bernegara. Benih yang telah ditanam oleh Barnabas Sarikromo di perbukitan Menoreh terus dilanjutkan dan digulirkan sesuai konteks zaman. Semangat Barnabas Sarikromo kembali hidup di Sendangsono.
*****
Inilah beberapa moment yang sempat terabadikan dalam peristiwa tersebut
[caption id="attachment_214863" align="aligncenter" width="432" caption="Barnabas yang sedang diteguhkan oleh 2 pamomongnya (yswitopr)"]
[caption id="attachment_214864" align="aligncenter" width="432" caption="sang penari (yswitopr)"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H