[caption id="attachment_188355" align="aligncenter" width="504" caption="keberagaman selalu indah untuk dirasakan dan dialami (dok.pri)"][/caption] Setiap kali membaca berbagai media cetak, mendengar melalui radio, atau melihat media televisi ada sesuatu yang selalui menggelitik saya. Hal yang menggelitik bagi saya adalah aneka bentuk kekerasan. Hampir setiap hari, aneka berita kekerasan menghiasi aneka bentuk media masa, baik berskala daerah maupun nasional. Mengapa aneka bentuk kekerasan selalu saja terjadi di negeri ini? Kiranya masyarakat Indonesia perlu kembali merenung sebuah nilai kebangsaan yang didasarkan pada kesadaran akan pentingnya menghargai keberagaman sebagaimana tertera pada lambang Garuda Pancasila, "Bhineka Tunggal Ika". 3 kata pokok yang mengisyaratkan pemaknaan yang demikian mendalam, yaitu penghargaan tentang adanya multikulturalisme. Tampaknya, inilah yang harus terus dikumandangkan dalam hidup keseharian masyarakat. Saya merasa bahwa multikultural adalah sebuah syarat kesinambungan dan keberlangsungan hidup. Melalui kehidupan yang multikultural kehidupan sosio-kultural dapat berjalan dengan baik sehingga aneka bentuk gesekan dan kekerasan semakin tereliminasi. Inilah yang terlintas di benak saya ketika mengamati berbagai foto yang ada dalam Weekly Photo Challenge yang dibuat oleh komunitas Kampret, sebuah komunitas yang beranggotakan para kompasianer yang hoby motret. Telah ada ratusan foto yang dikeluarkan dari gudang Kampretos, sebutan mesra anggota Kampret. Ratusan foto itu tersebar dalam berbagai tema berbeda. Hingga sekarang, WPC itu telah memasuki minggu ke 13. Sebuah pencapaian yang luar biasa, apalagi WPC ini tidak hanya diikuti oleh kampretos. Ada beberapa kompasianer yang tidak tergabung juga mengikuti kegiatan WPC ini. Setelah melihat ratusan foto yang ada, terus terang saya mengalami kebingungan juga. Siapakah saya sehingga berani memberikan apresiasi atas ratusan foto itu? Meski demikian, saya berani diri untuk membuat sebuah apresiasi. Setelah melihat ratusan foto itu, saya melihat ada beberapa foto yang menarik perhatian saya.
[caption id="attachment_188356" align="aligncenter" width="574" caption="quo vadis? (Si Eka dok)"]
Multikulturalisme adalah sebuah mekanisme daya hidup alamiah yang ada dalam semesta. Mengakui keberagaman berarti mengakui adanya perbedaan, keunikan, dan kekhasan. Sebuah potret carut marutnya kehidupan berpolitik di Indonesia ditampilkan oleh Si Eka. Tumpukan surat suara dengan foreground gerakan tangan yang sedang melipat surat suara seolah hendak membawa penikmat pada situasi politik "siap menang dan siap kalah". Motion gerakan tangan itu semakin menguat manakala kita melihat realita bahwa slogan itu hanyalah pemanis bibir. Keberagaman aspirasi politik belum mampu membentuk sebuah habitus kompetitisi yang sehat. Akibatnya, carut marut politik di Indonesia semakin akut. Sekali lagi, Si eka mampu membangun sebuah image cerdas melalui fotonya. Dengan fokus pada tumpukan-tumpukan surat suara itu, ia seolah mengajak penikmat untuk bertanya: mau dibawa kemana keragaman aspirasi politik di negeri ini?
[caption id="attachment_188358" align="aligncenter" width="432" caption="harmoni alam (gaganawati dok)"]
Keadaan multikultural adalah hakekat alam itu sendiri. Gambaran ini saya tangkap dalam foto Gaganawati. Sebuah foto alam pegunungan yang syahdu. Terlepas dari sisi teknis pengambilan, alam yang ditampilkan menunjukkan bahwa alam telah mengajari manusia untuk menerima keberagaman. Jalan yang berliku yang dikelilingi tanaman bunga dan rumput yang menghijau serta nun jauh di sana terdapat beberapa rumah yang dikelilingi pohon-pohon besar memberi pelajaran berharga kepada manusia: keberagaman itu indah ketika satu sama lain bersinergi.
Keberagaman sosio-kulturan adalah sebuah modal dan sumber potensi. Multikultural harus dibiarkan tumbuh sebab multikultural sendiri ada dan nyata dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karenanya tidak perlu ada standarisasi baku yang menyeragamkan budaya dan estetika dalam masyarakat. Kesan ini amat kuat saya tangkap ketika melihat foto Baskoro yang melukiskan kumpulan sepeda di sebuah areal parkiran. Kelihatannya ada sebuah kesamaan: sepeda. Tetapi jika kita teliti, kita akan mendapati bahwa ada keberagaman jenis sepeda di sana. Cara memarkir sepeda-sepeda itu pun beraneka ragam bentuknya. Sudut pengambilan yang tepat sebenarnya bisa semakin memperkuat kesan itu.
[caption id="attachment_188359" align="aligncenter" width="383" caption="keberagaman dalam keragaman (baskoro dok)"]
Dari areal parkir sepeda itu, saya belajar bahwa multikuralisme adaah sebuah syarat yang harus dihidupi. Sama-sama sepeda, tetapi merknya dan pabrikannya berbeda. Dalam kehidupan bernegara pun demikian adanya. Terdapat berbagai ethnis, suku, bahasa, budaya, agama di negeri ini. Di dalam agama terdapat denominasi, mazhab, sekte, dan tarekat. Demikian juga dalam hal yang lain. Apa jadinya ketika setiap kelompok itu merasa paling hebat, benar, murni, suci, dan merasa punya hal dan wewenang khusus? Baskoro mengajak saya untuk belajar tentang makna toleransi dalam foto sepedanya.
[caption id="attachment_188361" align="aligncenter" width="403" caption="bee (anazkia dok)"]
Kita bisa membayangkan, apa jadinya ketika semua orang di dunia ini melakukan pekerjaan yang sama dengan tujuan yang sama pula? Sekali lagi, alam mengajarkan makna multikulturalisme dan tolerasi kepada manusia. Sebuah foto seekor tawon yang sedang menikmati madu bunga yang diabadikan oleh Anazkia dapat menjadi ilustrasi. Saya belum pernah melihat ada tawon-tawon yang berebut atau bahkan saling membunuh demi mendapatkan makanan atau berebut daerah kekuasaan. Secara alamiah mereka mampu menempati wilayahnya sendiri-sendiri. Mereka tidak terjebak pada sebuah keadaan serba sama yang ujungnya justru akan merusak kehidupan itu sendiri.
[caption id="attachment_188363" align="aligncenter" width="399" caption="komunikasi (Granito dok)"]
Saya menangkap maraknya kekerasan di negeri ini dipicu oleh nafsu manusia untuk menjadikan multikultural menjadi monokultural. Untuk itulah diperlukan usaha sosialiasasi dan internalisasi secara terus menerus sehingga semakin terbentuklah pemahaman dan keterbukaan terhadap multikulturalisme. Bagaimana caranya? Komunikasi yang sehat menjadi kunci pokoknya. Sebuah foto bagaimana menjalin sebuah komunikasi ditampilkan dengan amat baik oleh Granito. Komunikasi seorang bocah dengan pemotretnya tampak demikian kuat. Komunikasi bukan hanya soal bagaimana menerima tetapi juga bagaimana menyampaikan. Sebuah lingkaran yang yang berhubungan satu sama lain. Komunikasi selalu dua arah, penyampai pesan dan penerima pesan. Komunikasi yang baik dan cerdas akan membentuk pola kehidupan yang baik pula dalam keberagaman di negeri ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H