Pernahkan Anda mendengarkan atau menikmati lantunan suara gamelan yang ditabuh dengan dinamis? Jika Anda bisa meresapi lantunan suara gamelan itu, aku yakin Anda akan menemukan sesuatu yang luar biasa. Sebab gamelan dalam konsep Jawa sangat erat dengan sebuah pemaknaan dan nilai.
[caption id="attachment_176897" align="aligncenter" width="630" caption="neng ning nang nung (dok.pri)"][/caption]
Salah satu konsep gamelan Jawa yang terkenal adalah konsep neng, ning, nung, dan nang. Konsep ini bermula dari perpaduan suara kenong dan bonang. Harmoni kedua alat itu jika dirasakan akan menimbulkan bunyi neng ning nung nang. Melalui konsep ini manusia dibawa sampai pada kesadaran untuk meraih kemenangan atas energi negatif melalui empat tahap laku prihatin.Empat tahap itulah yang digambarkan sebagai neng, ning, nung, dan nang.
Pada bagian ini aku ingin mencoba menggagapi makna neng sebagai tahap pertama laku prihatin yang harus dijalani manusia untuk dapat mengalahkan energi negatif. Mengapa saya memilih konsep neng? Jujur, ini aku pilih setelah melihat, mendengar, dan membaca berbagai fenomena yang menghangat di negeri ini. Berbagai tindak kerusuhan merebak di mana-mana, entah kerusuhan murni kriminal maupun kerusuhan dengan agama sebagai bungkusnya.
[caption id="attachment_176900" align="aligncenter" width="288" caption="jumeneng kanthi eling lan waspadha (dok.pri)"]
Neng berarti jumeneng atau berdiri. Kata berdiri hanyalah sebuah simbol untuk menunjukkan makna sesungguhnya yaitu sadar atau bangun untuk melakukan sebuah tindakan kebajikan. Neng, pada hakekatnya sebatas melatih dan membiasakan diri melakukan perbuatan yang baik dan bermanfaat untuk diri pribadi, dan lebih utama untuk sesama tanpa pilih kasih. Hal itu dilakukan untuk membangun sikap eling dan waspadha.
Neng adalah tingkat dasar. Manusia yang berada pada tingkatan ini masih berada pada tingkatan badan. Artinya belum sampai melibatkan hati dan batin secara tepat. Ukuran tataran neng terletak pada solah, yaitu perbuatan yang terlihat. Misalnya berbuat baik, menolong orang, tidak mencelakai orang lain, dan lain sebagainya. Solah ini akan berkaitan dengan bawa, yaitu perilaku batiniah yang tidak terlihat oleh mata. Keduanya berhubungan erat. Solah hendaknya dipengaruhi oleh bawa dan sebaliknya. Tetapi, orientasi pada solah belum tentu selaras dengan bawa.
Pada tataran awal ini meskipun seseorang seolah-olah terkesan baik namun belum menjamin pencapaian tataran spiritual yang memadai. Tidak jarang, orang melakukan kebaikan tetapi masih dilandasi oleh rasa ingin diakui, ingin mendapat pengakuan, supaya dinilai baik dan mendapat pujian. Tak jarang pula, seseorang melakukan tindakan baik supaya kepentingannya sendiri tercapai. Akibatnya, apa yang terjadi ketika motivasi itu tidak tercapai? Orang menjadi kecewa, tersinggung, marah. Dan ketika ini terjadi, timbullah aneka bentuk kerusuhan.
[caption id="attachment_176901" align="aligncenter" width="432" caption="semakin masuk ke dalam (dok.pri)"]
Contoh sederhananya begini. Ketika ada orang kecelakaan, kemudian kita datang dan menolong. Aku yakin kita pasti akan mengatakan kalau tulus iklas menolong orang itu. Tapi apa yang akan terjadi kalau orang yang kita tolong itu pergi begitu saja setelah kita tolong? Apakah kita menggerutu atau tidak? Rasaku, kalau kita menggerutu itu pertanda bantuan yang kita berikan sudah tidak tulus lagi. Kita membantu karena dilandasi oleh orientasi lain. Misalnya keinginan untuk mendapat ucapan terima kasih.
Pada tataran ini, seseorang masih rentan dikuasai nafsu ke-aku-an. Orientasinya ada pada diri sendiri. Akibatnya diri sendiri dianggap tahu segala, merasa suci, dan harus dihormati. Siapa yang berbeda pendapat dianggap sesat dan kafir. Konsekuensinya adalah bila memperdebatkan sesuatuia menganggap diri paling benar dan suci, lantas muncul sikap golek benere dewe, golek menange dewe, dan golek butuhe dewe.
Fenomena inilah yang sering melatarbelakangi aneka kerusuhan yang ada di negeri ini. Ketika ada seseorang atau kelompok merasa dirinya paling kuat, paling benar maka yang lain dianggap salah dan harus diperangi. Timbullah konflik-konflik pribadi maupun kelompok. Dan ketika hal seperti ini terjadi, menjadi teramat sulit terjadinya dialog. Kalau dialog dipaksakan, yang terjadi bukan dialog tetapi menang-menangan. Dan yang kuat teriak pasti akan menang.
Kadang aku berpikir, apa sih yang dicari orang ketika memperjuangkan sesuatu dengan mata merah, penuh dengan emosi sampai seluruh urat seperti tertarik semua? Mungkin mereka masih bisa berargumentasi memperjuangkan kebenaran, tetapi lihatlah. Setetes embun ini terlihat lebih indah ketika kita mampu melihat ke dalamnya kan? Artinya keindahan embun tidak hanya yang terlihat di luar. Keindahan itu akan semakin luar biasa ketika kita bisa menemukan dan merasakan apa yang terpantul di dalam tetesan embun itu.
[caption id="attachment_176902" align="aligncenter" width="432" caption="duc in altum (dok.pri)"]
Akhirnya aku belajar bahwa lekuk-lekuk keindahan yang terlihat oleh mata sering kali menipu. Apa yang tampak di mata memang menggoda tetapi bisa memabukkan. Bagiku, lebih indah jika aku mampu melewati tahap itu dan bergerak masuk semakin dalam sehingga aku mampu sampai kepada sangkan paraning dumadi. Duc in altum. Aku diajak untuk terus bergerak semakin dalam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H