Mohon tunggu...
yswitopr
yswitopr Mohon Tunggu... lainnya -

....yang gelisah karena sapaan Sang Cinta dan sedang dalam perjalanan mencari Sang Cinta

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Rindu Pemimpin Sejati

21 Januari 2012   06:41 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:37 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_156776" align="aligncenter" width="630" caption="sumber: wikipedia"][/caption]

Setiap kali muncul sebuah persoalan di negeri ini, kata yang selalu muncul dari para pejabat adalah “.... sesuai koridor hukum yang berlaku....” Terus terang kata-kata seperti itu menggelitik saya. Tidak hanya untuk memberi alasan, kata-kata seperti itu dapat menjadi jimat baik untuk menghindar atau untuk memberi pertanggungjawaban. Kalau tidak percaya, silahkan menghitung berapa kata seperti itu muncul setiap kali ada pejabat yang dimintai komentar atas suatu kasus. Sementara di tingkat akar rumput, ada anekdot “hukum ada untuk dilanggar”. Masyarakat sadar betul bahwa ada sekian hukum, entah tertulis atau tidak [adat], yang pada implikasinya sering tidak sesuai dengan apa yang telah ditulis. Masyarakat sadar bahwa setiap rumusan hukum pastilah baik. Faktanya, yang baik itu belumlah menjamin sebuah penerapan yang baik pula. Ambil contoh jam belajar masyarakat. Di banyak tempat ada tulisan besar: jam belajar masyarakat: pukul 19.00-21.00 WIB. Apakah pada jam itu masyarakat belajar? Rumusan aturan itu tidak salah, tetapi penerapannya jauh dari apa yang tertulis itu. Melihat fenomena itu, saya tertarik dengan sebuah kisah luar biasa yang pernah terjadi di bagian lain di bumi ini. Adalah Presiden Dwight D. Eisenhower yang menjadi tokoh di balik kisah itu. Muara kisah itu adalah persoalan penghapusan perbudakan yang berimbas pada penyamaan hak antara mantan budak dan majikan.  Penghapusan perbudakan di Amerika Serikat resmi sahkan pada tahun 1865. Efek dari pengesahan undang-undang ini adalah kesamaan hak sebagai warga negara. Meski demikian, masih ada juga uang menolak peraturan itu. Muncullah doktrin yang intinya mengakui orang kulit hitam sebagai warga negara yang sama dengan warga yang lain, namn mereka tidak diperkenankan untuk berbaur dengan warga negara lain, utamanya mereka yang berkulit putih. Praktek ini akhirnya dinyatakan ilegal pada tahun 1954 oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat melalui keputusan Brown v. Board of Education. Praktek penyamaan hak sekaligus pemisahan itu dinyatakan bertentangan dengan konstitusi. Keputusan ini berimbas pada banyak unsur kehidupan. Misalnya sekolah diharuskan mengintegrasikan murid berkulit hitam dengan murid berkulit putih. Sebuah keputusan yang demikian hebat. Namun, atas keputusan itu terjadilah sebuah insiden di  sebuah sekolah menengah di kota Little Rock, yakni Little Rock High School. Sekolah ini tidak mau menerima 9 orang murid berkulit hitam. Dukungan datang dari masyarakat yang mendukung pembedaan. Mereka beramai-ramai mendatangi sekolah dan melarang murid-murid itu untuk memasuki sekolahan. Uniknya, Gubernur Arkansas, Orval Faubus, mendukung gerakan ini. Tidak hanya dukungan moril, ia mengirimkan pasukan Garda Nasional Arkasas untuk mencegah murid-murid itu memasuki halaman sekolah. Kejadian ini menjadi isu nasional. Melihat tindakan gubernur Arkansas yang nyata-nyata melawan keputusan Mahkamah Agung ini, Presiden Dwight D. Eisenhower langsung turun tangan. Dia meminta Gubernur Faubus menemuinya secara pribadi. Ia memerintahkan agar Faubus tidak membangkang dari keputusan Mahkamah. Faktanya, himbauan Presiden tidak digubris. Terjadilah ketegangan. Inilah yang kemudian menggelitik saya. Arkansas adalah negara bagian. Arkansas yang beribu kota di Litle Rock ini terletak di bagian selatan. Negara bagian ini termasuk kecil. Tetapi perhatian yang ditunjukkan oleh Presiden Eisenhower demikian besar untuk mengatasi masalah kecil itu. Presiden mengirim pasukan Divisi Airborne 101 Angkatan darat Amerika Serikat untuk melindungi sembilan murid berkulit hitam itu. Akhirnya, 23 September 1957, kesembilan murid itu dapat menikmati pendidikannya. Keberanian Presiden Eisenhower patut diacungi jempol. Tindakan yang diambilnya merupakan bukti bahwa ia adalah pemimpin sejati yang tidak hanya mempermainkan kata “menerima amanah dari rakyat”, tetapi sungguh mempertanggungjawabkan amanah itu secara konkret. Dasar yang dipilih pun jelas, yaitu undang-undang dan hukum yang berlaku. [caption id="attachment_156777" align="aligncenter" width="630" caption="manusia niru semut, atau semut niru manusia?"]

13271279592009853157
13271279592009853157
[/caption]

Katanya, negeri ini adalah negara yang menjunjung tinggi undang-undang. Artinya, perundang-undangan yang ada mestinya ditempatkan pada tempat yang semestinya. Bukan hanya menjadi sebuah jargon “sesuai undang-undang yang ada”, tetapi harus konkret dan sesuai dengan maksudnya. Undang-undang bukanlah plesetan yang bisa dipermainkan demi sebuah kepentingan sendiri atau kelompok. Sebagai seorang warga negara, saya rindu dengan sosok Eisenhower. Kisahnya dalam menangani kasus Litle Rock menunjukkan bahwa undang-undang harus ditempatkan secara tepat. Meskipun tragedi Little Rock merupakan tragedi yang bersifat lokal, tetapi Sang Presiden berani turun tangan langsung. Tidak hanya dengan kata-kata. Ia menangani tragedi itu secara nyata berdasarkan undang-undang yang berlaku. Hukum ditegakkan. Rasanya demikian gerah melihat bangsa yang katanya menjunjung tinggi undang-undang ini justru menciderai undang-undang itu sendiri. Hukum dipermainkan demi sebuah kepentingan pribadi maupun kelompok. Contoh sederhana adalah keputusan Mahkamah Agung soal pendirian tempat ibadah GKI Taman Yasmin Bogor. Keputusan MA itu tidak juga kunjung dipenuhi. Masih banyak contoh lain lagi yang semakin menunjukkan bahwa hukum di negeri ini bukannya ditegakkan melainkan dicederai. Hukum dipermainkan sehingga muncul pameo di tengah masyarakat, hukum: membela yang bayar. Sudah demikian akutkah? Di tengah maraknya pencideraan atas hukum di negeri ini, saya rindu seorang pemimpin sejati yang berani tampil dengan mengedepankan hukum yang berlaku. Catatannya, bukan hanya pada omongan tetapi sampai pada tindakan yang nyata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun