Mohon tunggu...
yswitopr
yswitopr Mohon Tunggu... lainnya -

....yang gelisah karena sapaan Sang Cinta dan sedang dalam perjalanan mencari Sang Cinta

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Dimanakah Yesus Lahir?

24 Desember 2011   04:38 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:49 579
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kisah-kisah seputar kelahiran Kristus adalah sebuah drama kehidupan, akumulasi kisah tragis hidup manusia. Jauh berjalan dari Nazaret yang nyaman, lalu terlunta-lunta di Betlehem tanpa tumpangan. Proses kelahiran Kristus sudah mengalami penolakan dan penyingkiran sejak semula. Adakah tempat bagiNya? Rupanya tak ada lagi tempat. Jadilah Kristus Anak Allah lahir di tempat paling hina : kandang ternak dengan semua keburukannya.Terbaring di palungan dengan balutan kain lampin, di malam sunyi yang dingin. Situasi itulah yang bisa menerima kehadiranNya.

Apa yang dapat kita tangkap dari setting kelahiran Kristus saat malam Natal di Betlehem? Inilah lambang kemiskinan dan kelemahan yang nyata. Inilah lambang ketidakberdayaan yang sangat telak memukul sanubari kita. Mengapa Sang Raja tidak memilih lahir di istana? Mengapa Yang maha kuasa tidak memilih hadir lewat keluarga kaya raya? Dan mengapa pula warta keselamatan mula-mula justru diterima oleh gembala-gembala sederhana?

Dengan hati jernih kita mencoba merabanya : Allah sungguh berpihak pada yang miskin papa. Lewat segala kelemahan manusiawi itu Allah mau menyapa umatNya. Warta keselamatan menggambarkan dengan jelas betapa Allah ingin menjadi dan melayani manusia yang paling rendah. Allah tahu bahwa dalam kondisi yang paling lemah, miskin dan tak berdaya manusia menjeritkan kerinduan yang paling murni untuk berjumpa dengan penciptanya. Dalam kondisi seperti itu, manusia hanya mampu bersandar pada Allah, bukan lagi pada kekuatan dan hitung-hitungannya sendiri. Kandang hina menjadi tempat bertemunya kasih Allah dengan kerinduan manusia yang lemah.

Kini kita kembali ke pertanyaan reflektif semula : dimanakah kandang kelahiran Kristus itu kini berada? Ada banyak cara untuk membawa kisah 2000an tahun silam itu dalam konteks kekinian. Refleksi kekinian itu menempatkan kelahiran Yesus dalam sebuah tenda kecil di bawah kolong jembatan layang nan angkuh. Ya, di sebuah kota kecil Magelang refleksi kekinian itu menyeruak di balik carut marutnya bangsa ini.

[caption id="attachment_150971" align="aligncenter" width="360" caption="masih banyak"][/caption]

Tenda gelandangan darurat di bawah kokohnya jembatan layang dan angkuhnya gedung-gedung menjulang mungkin bisa menjadi alternatif permenungan. Inilah tempat yang mungkin paling telak menggambarkan kelemahan manusia. Inilah tempat orang-orang kalah, dan tak berdaya. Orang-orang kecil yang kerap tidak diperhitungkan secara sosial, dianggup tidak mampu berperan dan dengan mudah dilupakan. Orang-orang lemah yang tidak mempunyai andalan apapun untuk merubah nasib, yang tidak punya kuasa untuk membela diri dan kepentingannya. Disinilah tempat orang-orang miskin, yang tidak punya akses untuk memenuhi hak-hak dasar, yang serba berkekurangan dalam sandang, pangan, dan papan. Disinilah tempat orang-orang tersingkir, yang dijauhi karena dianggap bukan sesama, yang dikucilkan karena memalukan dan dibuang karena cap menghambat pembangunan. Inilah tempat orang-orang difabel, yang karena cacat diri lalu dinilai tak berguna; yang karena tak mampu mandiri lalu dianggap merepotkan saja. Ini (mungkin) tempat yang akan dipilih kristus untuk lahir pada masa sekarang. Tempat yang paling hina dan dijauhi orang.

Seperti halnya kandang Natal menjadi tempat perjumpaan kasih Allah dengan kerinduan manusia, tenda Natal melambangkan hal yang sama. Di tempat yang paling hina ini kasih Allah justru bersinar terang benderang. Tatanan hidup baru dimulai: hidup yang lebih berdasarkan kasih dan bela rasa; hidup yang mengangkat martabat manusia; dan hidup yang memuliakan kemanusiaan. Karena sentuhan kasih Allah maka segala ketidakberdayaan menjadi anugerah dan dapat diolah menjadi daya hidup yang menggugah. Gambaran pohon terang yang terbuat dari barang-barang bekas dan terbuang menjadi sebuah penanda. Dengan sentuhan kasihnya Allah mampu mengubah sesuatu yang tak berharga menjadi ciptaan yang indah dan berguna. Maka pertanyaan yang mengusik selanjutnya adalah: jika Allah yang maha kuasa mau berbagi dan berbela rasa dengan manusia, mengapa kita seringkali tidak mampu (mau) melakukannya?

[caption id="attachment_150972" align="aligncenter" width="630" caption="mendekatkan sekaligus menjauhkan"][/caption]

Hidup kita jaman ini ditandai dengan makin terkikisnya rasa persaudaraan sejati. Persaudaraan kini tidak lagi berbasis ketulusan namun lebih bermotif interest pribadi. Kemajuan teknologi di satu sisi sangat memperpendek jarak dan waktu, namun di sisi lain sungguh telah membuat jarak kemanusiaan menjadi semakin lebar. Hubungan antar manusia tidak lagi bersifat humanity, melainkan cenderung materialistik. Sungguh hati menjadi miris melihat pertumbuhan kelompok-kelompok atau paguyu­ban-paguyuban yang beraneka ragam, karena kemudian juga tumbuh kelompok orang miskin dan kelompok orang kaya. Hingga akhirnya tiap orang lebih suka berasyik masyuk dengan kelompoknya sendiri.

Natal kita tidak lagi menjadi perayaan suka cita bersama, namun sering kali jatuh pada upacara seremonial belaka yang kering tanpa makna. Lebih parah lagi, Natal menjadi komoditas bisnis yang menjanjikan keuntungan menggiurkan. Di hotel dan resort mewah, Natal menjadi primadona sebelum acara tutup tahun. Mendengarkan lagu-lagu Natal dalam ruangan ber-AC dengan dekorasi dan tata panggung yang spektakuler (dalam balutan acara yang menyuguhkan hidangan super mewah dan hiburan artis ternama, dengan harga ticket puluhan juta rupiah) sungguh telah menjadi kebiasaan di kalangan tertentu. Semangat berbagi dengan yang lemah sudah tergantikan dengan semangat berbagi keuntungan demi kekayaan pribadi.

Sementara di sudut-sudut gunung atau pesisir, banyak umat Tuhan yang harus berjalan kaki selama berjam-jam hanya untuk menuju Gereja guna merayakan Natal. Mereka berjalan dalam gelap dengan obor blarak sambil menahan dingin dan lapar, mirip kisah perjalanan Yusuf danMaria menuju Betlehem. Di tenda–tenda gelandangan dan pengungsi korban bencana malam, Natal berlalu dalam doa yang sunyi dan penuh harapan bahwa Gusti ora sare dan perbaikan hidup akan menjelang. Sungguh suatu ironi yang menggelisahkan.

Kehadiran Yesus sesungguhnya membawa pesan akan kepedulian Allah terhadap kaum papa miskin dan mengingatkan kita untuk mengabdikan kekuatan, kekayaan, jabatan, kecerdasan atau apapun juga yang kita miliki demi kesejahteraan bersama terlebih mereka yang menderita. Natal mengajar kita untuk sujud melayani sesama yang berkekurangan. Natal mengajar kita untuk peduli dan berbagi. Inilah Natal yang sejati dimana kita turut serta dalam penggenapan janji Allah untuk menyelamatkan manusia.

Hari ini suara meriam dan senapan kekuasaan terbungkam manakala si sudra tak lagi papa di hadapan Allah. Maka di depan tenda ini, diantara pancang besi, kita rehat sejenak meneguk kerinduan hakiki. Disini, dalam kemelaratan duniawi, kita masih diberi kekayaan surgawi. Kelahiran Yesus menantang Gereja: apakah Gereja (sebagai paguyuban umat beriman kepada Kristus) masih signifikan dan relevan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun