Kemarin siang, ketika sedang makan siang di sebuah warung, saya melihat berita di salah satu televisi swasta yang mengabarkan adanya ledakan bom di sebuah Pondok Pesantren di Nusa Tenggara Barat. Sesampai di rumah, saya melacak berita itu di Kompas.com. Ada 2 berita yang diturunkan: Ledakan di Ponpes Tewaskan 1 Orang dan Bom di Ponpes, 11 orang diamankan.
Mendengar dan membaca kasus ledakan bom itu membuat saya bertanya-tanya. Itulah sebabnya judul yang saya buat berupa kalimat tanya. Pertanyaan terbesar saya adalah kok bisa ya? Ada gerangan?
Faktanya jelas. Ada sebuah bom yang meledak di salah satu ruangan di Pondok Pesantren (Ponpes) pimpinan Umar bin Khatab di Desa Sonolo, Kecamatan Bolo, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. Bom rakitan itu meledak, Senin ( 12/7/2011 ) pukul 15.30 WITA. Akibat dari ledakan itu, salah seorang guru sekaligus pengajar di ponpes tersebut meninggal dunia. Dia adalah Surianto alias Firdaus.
Menurut saya, ledakan bom itu bisa terjadi karena ada orang yang mengirim bom itu atau memang bom itu sejak semula [untuk tidak mengatakan hasil rakitan dari dalam ponpes] ada di dalam ponpes itu. Kalau ada orang yang mengirim bom ke ponpes, tentu orang itu bermaksud jahat. Tetapi rasanya kemungkinan ini kecil terjadi. Bagaimana dengan kemungkinan bom itu ada di dalam ponpes? Rasanya kok sangat tidak masuk akal karena pondok pesantren adalah tempat untuk belajar agama, bukan tempat untuk belajar merakit bom. Saya yakin ada jawaban, sayangnya hanya DIA yang tahu kebenarannya. Sejuta alasan bisa disampaikan dengan berbagai bukti dan alibi. Tapi sekali lagi, hanya Dia yang mengerti dan mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
Saya sendiri baru pertama kali ini mendengar ada peristiwa ledakan bom di kompleks pondok pesantren [apakah sebelumnya ada kasus yang pernah terjadi?]. Dalam pikiran saya, pondok pesantren adalah sebuah tempat untuk belajar dan mendalami agama. Di pondok pesantren orang belajar tentang agama, dalam hal ini agama Islam. Sementara bom adalah salah satu jenis senjata yang digunakan untuk menghancurkan. Lalu, bagaimana memahami bahwa ada bom yang meledak di sebuah tempat pendidikan agama?
Pertanyaan itu semakin tidak mudah saya mengerti ketika ada fakta lain. Pondok pesantren tempat bom itu meledak adalah tempat dimana Sa’ban Abdurrahman menempuh pendidikan. Siapakah dia? Sa'ban Abdurrahman merupakan salah satu santri di Ponpes Umar bin Khatab di Bolo, Kabupaten Bima. Ia sedang menjalani pemeriksaan intensif di Mapolda NTB karena teridentifikasi sebagai pelaku pembunuhan terhadap anggota Polsek Bolo-Bima Brigadir Rokhmat, 30 Juni lalu.
Fakta lain yang semakin tidak habis saya mengerti adalah pernyataan Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Anton Bachrul Alam. Dijelaskan bahwa kepolisian belum dapat melakukan olah TKP karena dihalang-halangi oleh para santri. Cara yang dipakai pun cukup unik. Para santri menghalangi tugas aparat dengan membawa senjata tajam. Pimpinan ponpes pun belum atau tidak mengijinkan adanya olah TKP.
Kedua fakta tambahan ini jelas menumbuhkan tanda tanya. Adalah wajar ketika da orang yang kemudian menghubung-hubungkan dengan aksi terorisme. Bahkan, perbincangan mengenai pondok pesantren sebagai tempat subur tumbuhnya aksi terorisme pun semakin marak. Tentu tidak bisa dinilai semua pondok pesantren seperti itu. Ada banyak ponpes yang mendidik para santri dengan baik. Ada banyak ponpes yang menghasilkan santri-santri yang luar biasa berjasa bagi bangsa dan negara Indonesia. Namun, karena nila setitik, rusaklah susu sebelangan. Pepatah ini memiliki makna yang tepat untuk kasus seperti ini.
Bukankah ponpes itu merupakan tempat pendidikan untuk mendalami agama? Mengapa terjadi seperti ini? Pertanyaan-pertanyaan itu tetap tidak terjawab oleh saya. Bagaimana dengan anda?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H