Mohon tunggu...
yswitopr
yswitopr Mohon Tunggu... lainnya -

....yang gelisah karena sapaan Sang Cinta dan sedang dalam perjalanan mencari Sang Cinta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Antara Dzikir dan Zakar

27 Juni 2010   11:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:15 948
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sangat menarik ketika menjelajah tulisan-tulisan yang ada di kompasiana. Sekilas, tanpa mengadakan penelitian lebih mendalam, tampaknya tulisan-tulisan mengenai seks (mungkin lebih tepat seksualitas) demikian laris manis. Seks sebagai salah satu bagian dari ruang privat menjadi layak untuk diperdebatkan, bahkan dipertontonkan. Entah mengapa? Rasanya menjadi demikian naif ketika merasa tidak tertarik untuk ikut membicarakan topik seks. Tapi bukan berarti latah atau ikut-ikutan membicarakan topik seks. Setiap orang mempunyai sudut pandangnya sendiri. Dan di situlah letak keunikannya.

Dan terlintas dalam pikiran saya mengenai dzikir dan zakar. Entah mengapa dua kata ini seperti menari-nari di pikiran. Menggoda untuk ditelusuri dan direnungkan.Dzikir adalah sebuah tindakan konkret untuk mewujudkan apa yang telah diyakini seseorang. Dengan dzikir, orang ingin mendekatkan diri pada Dia yang telah menciptanya. Sementara zakar adalah salah satu bagian dari alat reproduksi. Apakah keduanya berkaitan? Antara dzikir dan zakar merupakan sebuah potret hitam dan putih realitas kehidupan manusia. Antara dzikir dan zakar terkati erat satu sama lain. Keduanya mencipta sebuah harmoni. Meletakkan yang satu secara lebih berat dibandingkan yang lain akan menciptakan suara-suara sumbang dalam sebuah orkestra kehidupan.

Apa jadinya ketika dzikir tanpa zakar? Hmmm... terciptalah manusia-manusia robot. Tak ada empati dan simpati. Tak ada kasih sayang. Semua menjadi demikian mekanis. Kesucian semu menjadi cita-cita.

Ukurannya adalah tabu. Zakar cukup menjadi sebuah ruang privat dan hanya aku yang boleh tau. Tak peduli ketika dzikir dilantunkan, tergambar zakar dalam benak terdalam. Yang penting orang lain tak tahu apa yang menjadi isi otakku. Terciptalah manusia-manusia munafik yang mementingkan sisi luar yang terlihat. Kata-kata saleh berkumandang, tapi desah kenikmatan menjadi impian.

Bahkan, dzikir bisa jadi kedok untuk menutupi nafsu. Dalil-dalil suci ditafsirkan. Tapi intinya tetap sama. Yang suci dan yang kudus diperkosa demi pemuasan zakar. Tak mengherankan jika terdengar berita ada pastur terlibat skandal pedophilia. Atau ada kyai yang terlibat pelecehan seksual. Ada bapak memperkosa anaknya. Tidak hanya itu, ada pula guru yang melecehkan anak didiknya. Guru sebagai yang menjadi panutan (Jw: digugu lan ditiru) tak lagi bisa menjadi contoh dan teladan. Tentu ini sebuah pengambilankesimpulan yang bisa sangat salah. Setidak-tidaknya mengajak berpikir bahwa dzikir sering kali menjadi kedok untuk menutupi zakar. Dzikir bukan barang mainan, melainkan perwujudan iman.

Apa jadinya zakar tanpa dzikir? Hmmm... Pemuasaan nafsu menjadi orientasi. Yang ada di benak adalah zakar, zakar, dan zakar. Kepuasan demi kepuasan diraih. Tak ada lagi etika. Tak ada lagi norma. Tak ada lagi hukum. Semua tunduk kepada nafsu. Dan ketika nafsu demikian menguasai, yang adalah gelap mata. Orang tak mampu lagi berpikir jernih. Apa pun akan dibuat demi terpuaskannya nafsu terpendam. Lalu? Menyesal kemudian setelah semuanya terjadi. Masih syukur kepada Allah ketika ada penyesalan.

Zakar tak pernah pandang bulu. Dari kelas bawah sampai kelas pejabat terbelit yang namanya zakar. Zakar menjadi demikian rakus ketika tidak ditempatkan pada pada tempatnya.

Dzikir dan zakar adalah sebuah harmoni. Harmoni untuk mengolah diri menuju kepada kesejatian hidup. Dzikir dan zakar adalah sebuah pengendalian diri dari gerak untuk melampui Tuhan. Dzikir dan zakar harus seimbang sesuai porsi dan proporsinya.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun