Mohon tunggu...
yswitopr
yswitopr Mohon Tunggu... lainnya -

....yang gelisah karena sapaan Sang Cinta dan sedang dalam perjalanan mencari Sang Cinta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Quo Vadis Budaya Lokal?

18 Juni 2010   02:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:28 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dinginnya malam terasa menusuk tulang. Saya dan teman-teman memutuskan untuk keluar nonton wayang di alun-alun kabupaten. Seperti biasa, seragam kebesaran tak pernah saya lupakan. Sarung dan kethu penutup kepala. Suara gamelan sayup-sayup terdengar. Terdengar sangat harmonis dan ritmis. Ketika kami sampai di alun-alun, sang dalang telah memulai aksinya. Tangannya yang luwes memainkan wayang dengan sangat baik.

“Lho, yang nonton kok masih sedikit, ya?” bisik temanku.

“Taruhan, ya. Ntar jam 22.30an pasti buanyak yang nonton.” Kataku kepada teman-teman. Akhirnya kami taruhan, yang kalah nraktir kacang godok buat begadang semalam suntuk. Saya berani bertaruh dengan teman-teman karena mengamati fenomena yang selama ini saya lihat. Jika ada pementasan budaya tradisional, seperti wayang atau ketoprak, hanya saat-saat tertentu saja yang akan dipenuhi penonton. Lebih-lebih penonton kaum muda. Jika pementasan wayang, penonton akan berjubel pada adegan limbukan dan goro-goro. Karena pada adegan itu, ditampilkan musik campur sari atau dangdut. Selebihnya, tinggal orang-orang tua yang mau menonton.

Rupa-rupanya, nilai yang ditawarkan oleh budaya lokal, tak lagi mendapat perhatian serius dari kawula muda. Budaya pop lebih banyak menghiasi otak dan pikiran. Ketika budaya pop muncul, mereka akan segera berteriak-teriak kegirangan. Badan segera digoyangkan mengikuti musik yang menghentak. Bau keringat bercampur alkohol menyeruak dari kerumunan. Senggolan sedikit saja bisa berujung pada tawuran. Hmmm... bener-bener luar bisa. Giliran penanaman nilai, serentak akan terdengar suara koor: “Huuuuuuuuuuuu..” Ada apakah?

“Coy.. Lihat tuch.” Tangan temenku menunjuk ke arah para pesinden, “sudah tua-tua.”

“Jangan salah. Meskipun tua, tapi suaranya masih josss.” Sahutku dengan anda agak tinggi. Teman-teman langsung terdiam. “Tuch.. Ga cuma pesindennya yang tua-tua. Para penabuh gamelannya pun sudah tua-tua. Tapi tangan-tangan mereka masih terampil menari-nari di atas gamelan. Nah, kalian? Emang ada yang bisa nabuh gamelan?”

“Nabuh gamelan? Sorry coy. Yang begituan gak level sama kita-kita. Sudah ketinggalan zaman.” Giliran saya yang terdiam. Inikah cerminan pemikiran kaum muda zaman sekarang? Budaya yang demikian luhur dan kaya akan nilai dianggap ketinggalan zaman. Nonton wayang dianggap tidak gaul. Bisa menggunakan bahasa prokem, itu baru gaul. Aneh. Sementara banyak orang luar negeri berbondong-bondong belajar budaya lokal, e malah anak negeri ini beranggapan budayanya ketinggalan zaman. Ketika banyak orang manca negara demikian fasih berbahasa Jawa atau Indonesia, lha kok malah banyak anak-anak kita yang tidak lulus ujian bahasa Indonesia. Benar-benar mengerikan.

Sungguh memprihatinkan ketika melihat budaya lokal mulai ditinggalkan. Tinggal segelintir kecil saja yang mau belajar dengar tekun untuk melestarikan budayanya. Sungguh menyenangkan ketika melihat anak-anak berlatih tari-tari-tarian, berlatih gamelan, dan berlatih jenis-jenis budaya lokal lainnya. Di sela keprihatinan, masih ada pengharapan. Di tangan mereka inilah nasib budaya lokal dipertaruhkan. Kadang terasa aneh, ketika budaya lokal diambil orang lain dengan semangat empat lima segera berteriak dan menghojat. Tidak terima jika budayanya diambil orang. Tapi, apa yang sudah dibuat? Apakah ada aksi nyata untuk melestarikannya? Bener-bener pahlawan kesiangan. Menyanyikan lagu kebangsaan saja tidak bisa kok berani membakar bendera negara lain. Yang begini ini hanya bisa membuat geleng-geleng kepala.

Kadang geli juga. Banyak orang menghabiskan waktu berjam-jam di warnet untuk game online, update status yang aneh-aneh, atau download adegan mesum. Atau melihat anak-anak kita dengan tekun membaca buku-buku komik sampai lupa makan. Tetapi ketika kita mengajak mereka menonton pementasan budaya lokal, reaksi apa yang akan muncul? Jangankan nonton pementasan budaya lokal, dolanan lokal saja sudah banyak yang tidak bisa. Sangat jarang melihat anak-anak bermain jaran-jaranan dari pelepah daun pisang, bermain mobil-mobilan dari tanah liat atau kulit jeruk, dan pemainan-permainan lainnya. Padahal, dari permainan-permainan itulah akan tumbuh sebuah bentuk kreativitas yang luar biasa. Budaya lokal menawarkan nilai-nilai luar kearifan.

Tak terasa, semakin malam. Dan dugaanku benar. Ketika sang dalang memainkan adegan limbukan, anak-anak muda segera merangkek ke depan. Mereka siap bergoyang. Kami yang duduk di belakang hanya bisa melihat punggung-punggung yang bergoyang ke sana ke mari tak beraturan. Nyanyian campur sari dilantunkan. Ketika nyanyian itu tidak sesuai dengan harapan, langsung terdengar teriakan-teriakan untuk mengganti dengan lagu yang sedang hit. Dan jadilah kami menonton orang berjoged, bukan menonton wayang.

“Siapa yang merasa kalah segera beli kacang godok cukup untuk nonton sampai pagi” selorohku kepada teman-teman. Dan sambil memaki-maki, temanku yang merasa kalah pergi. Tak lama kemudian, ia sudah membawa kacang godok yang masih hangat. Kami pun segera menikmatinya sambil berbincang-bincang tentang nasib budaya lokal. Budaya yang demikian kaya, tapi sayang mulai ditinggalkan generasi mudanya. Akankah budaya-budaya lokal akan tinggal kenangan dan hanya menjadi sebuah dongeng?

Di tengah-tengah diskusi yang menarik, saya nyeletuk, “Eh.. ada yang tahu ga itu namanya siapa?” Sambil bertanya, saya menunjuk wayang yang sedang dimainkan sang dalang. Tidak ada yang berani menjawab pertanyaan saya. Semua teman-teman diam. Hmmm.. “Kalau gamelan itu namanya apa?” kataku sambil menunjuk sebuah alat gamelan. Lagi-lagi diam. Hening. Pertanyaan sederhana, tetapi bisa menjadi sebuah bahan tulisan yang panjang. Ternyata oh ternyata....

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun