[caption id="attachment_298640" align="aligncenter" width="620" caption="air yang melimpah"][/caption]
Sebuah tulisan (semacam klarifikasi) tentang pernyataan Din Syamsuddin dibuat dengan sangat baik oleh Erwin. Tulisan tersebut menjadi tulisan HL di Kompasiana. Tanggapan yang tidak kalah menarik dibuat oleh Anjo Hadi. Tulisan ini pun menjadi tulisan HL di Kompasiana.
Pernyataan Din Syamsuddin memang menarik. Menarik karena ada istilah yang khas agama, yaitu haram. Karena istilah yang dipakai adalah khas agama, maka orang lain yang tidak berada pada jalur agama tersebut dilarang untuk memberikan komentar. Jika tetap nekad memberikan komentar, berarti mereka ini berada pada jalur konspirasi untuk mencapai tujuan lain. Bahkan, ada yang sampai membuat analisa komentar atas tulisan tentang haramnya air kemasan dihubungkan dengan isu kristenisasi dengan slogan 3G. Hebat kan? Jika sudah demikian, sebuah tulisan yang demikian menukik pun tidak akan berarti apa-apa sebab yang pertama-tama di lihat adalah siapa yang menulis. Sebaik apa pun isi tulisannya, ketika dibuat oleh orang dari “luar pagar”, tetap tidak berarti apa-apa sebab pola pikirnya: ada agenda tersembunyi.
Meski saya non Muslim, saya tergerak untuk membuat tulisan tentang pernyataan Din Syamsuddin. Dari sudut pandang agama? Tentu tidak. Lalu? Saya hanya ingin bermain-main dengan logika sederhana semata. Tidak kurang dan tidak lebih.
Dasar yang saya gunakan untuk bermain-main adalah: Air Kemasan (menurut Erwin: yang diprivatisasi asing) itu haram. Sekali lagi, saya tidak hendak masuk dalam terminologi haram atau halal. Saya hanya ingin bermain-main dengan nalar saja. Nah, dari pernyataan seperti itu, bisa muncul berbagai kemungkinan:
a.Subyek pernyataan adalah air kemasan (yang diprivatisasi asing). Jadi yang menjadi topik pembicaraan adalah air kemasan. Mengapa air kemasan dianggap haram? Apakah karena kandungan air kemasan tersebut atau karena air kemasan tersebut dikelola asing? Nah, di sini berlaku hukum haram atau halal. Silahkan Anda yang mengerti memberi pemahaman pada bagian ini. Mengapa air kemasan itu haram?
b.Dalam berbagai tulisan dan komentar, yang dipersoalkan bukan air kemasannya. Yang dipersoalkan adalah pengelolaannya. Inilah yang membuat saya tergerak untuk membuat tulisan ini. Mengapa subyek yang diharamkan justru tidak diberi penjelasan memadai. Namun orang justru dibawa untuk membicarakan pengelolaannya. Lha yang haram itu air kemasannya atau pengelolaannya? Hayo.. Siapa yang berani menjawab pertanyaan ini? Dalam penalaran saya, jika yang diharamkan air kemasan maka dalil-dalil akan diberikan berkaitan dengan air kemasan itu. Tapi mengapa dalil-dalil diberikan berkaitan dengan pengelolaan air kemasan (oleh asing).
c.Jika yang dianggap bermasalah itu pengelolaan (oleh asing), nalar saya mengatakan bahwa yang harusnya diharamkan itu pengelolaannya. Sehingga rumusannya menjadi: pengelolaan air kemasan (yang diprivatisasi asing) itu haram.
d.Dasar hukum yang digunakan untuk membenarkan pernyataan itu adalah UUD 45. Ketika pernyataan bahwa air kemasan (yang diprivatisasi asing) itu haram diangkat menjadi sebuah fatwa, rasa saya tidak menjadi persoalan sejauh memang tidak bertentangan atau bahkan mendukung undang-undang yang berlaku. Toh, fatwa itu hanya berlaku bagi para pemeluknya. Kata teman saya, agama itu tidak bisa dipaksakan. Kalau pun fatwa itu kemudian muncul, saya masih tetap bisa menikmati air kemasan.
Kemungkinan-kemungkinan tersebut masih bisa ditambah lagi. Jika Anda ingin menambahkan, kiranya dapat membantu saya: sebenarnya yang diharamkan itu air kemasan (yang diprivatisasi asing) atau pengelolaannya sih?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H