Lingkaran Setan Impor Pangan
Bagaikan anak ayam yang mati kelaparan di lumbung padi.
Entah bagaimana menjelaskan betapa menyedihkannya keadaan sector pangan dan pertanian di Indonesia saat ini. Harga komoditas pangan yang semakin melambung akibat tidak ada pembatasan keran impor oleh pemerintah. Betapa menyedihkan sebuah Negara agraris terbesar di dunia yang produk utama negaranya dari hasil pertanian malah menjadi Negara pengimpor pangan No. 2 di dunia (The Jakarta Post, 2012).
Hari ini, Indonesia secara terang-terangan menggantungkan hidup masyarakatnya dari impor komoditas pertanian. Tahun 1998, pemerintah Indonesia menandatangani letter of Intent (Memorandum of Economics) dengan Bank Dunia (IMF). Setelah itu, tidak ada lagi pembatasan keran impor terhadap produk luar negeri. Sebaliknya, Hasil pertanian Negara ini sendiri tidak laku dijual dipasaran karena kalah jauh bersaing harga dan kualitas dengan produk impor. Semua yang dilakukan pemerintah seperti pembatasan harga tertinggi dan terendah, pengurangan pajak dan biaya impor serta melakukan pengurangan terhadap komoditas impor tetap saja tidak bisa banyak membantu petani local Indonesia.
Apakah benar kebijakan impor yang dilakukan pemerintah itu selalu salah? Tidak sepenuhnya. Namun kebijakan impor yang diambil oleh pemerintah cenderung tidak sistematis, kurang perencanaan matang dan tidak ada scientific calculation yang akurat. Coba kita melihat dari perspektif petani, hari ini, bawang merah, yang sangat mudah ditanam dimanapun di Indonesia, malah diimpor besar-besaran oleh pemerintah. Dengan subsidi terhadap komoditas dan tanpa adanya bea cukai, impor bawang merah memukul ratusan petani local di Indonesia. Bawang merah yang mereka tanam tidak laku dipasaran, karena jika dijual mengikuti produk impor yang harganya telah disubsidi, hasil jualnya bahkan tidak bisa menutupi biaya tanam dan panen. Akibatnya banyak petani bawang merah local yang beralih dan justru meninggalkan profesinya sebagai petani. Kebijakan impor yang harusnya pro-rakyat, justru malah menghancurkan kehidupan rakyat. Itu baru bawang merah, bagaimana dengan komoditas daging impor, yang sangat banyak dikonsumsi masyarakat menengah ke atas itu.
Jika berbicara tentang pangan impor, tidak sekedar mengatakan “stop impor, eat local food, save local farmer”. Tidak semudah itu. Impor pangan seperti lingkaran setan. Pemerintah Indonesia seperti kecanduan terhadap kebijakan impor pangan. Pasca 1998, setelah Indonesia mengalami krisis moneter, belum ada satupun presiden Indonesia yang kebijakan impornya bisa memecahkan masalah ini. Pergantian 4 presiden setelah era Jend.Soeharto, belum satupun yang sanggup menjawab masalah ini. Yang terbaru, presiden SBY menargetkan akan melakukan swasembada komoditas strategis seperti padi, jagung, kedelai, gula, dan daging di tahun 2014.
Menuju Swasembada Pangan 2014
Kebijakan impor dan swasembada pangan adalah 2 hal yang tidak dapat dipisahkan. Bagikan air dan minyak, salah satu akan mematikan fungsi yang lainnya. Swasembada Pangan 2014 merupaka sebuah kebijakan mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia yang diambil pemerintahan SBY pada tahun 2009 dalam jangka waktu lima tahun untuk komoditas strategis. Bustanul Arifin (Guru Besar Ekonomi Pertanian UNILA), dalam wawancara kepada Majalah Tempo baru-baru ini mengatakan, secara realistis dan melihat program pemerintah saat ini, beras dan jagung sangat memungkinkan akan mengalami swasembada, tapi tidak dengan kedelai, gula dan daging. Itupun jika pemerintah mau merevisi dan mengundurkan target tercapainya kebijakan. Artinya, jika melihat kebijakan impor komoditas dan program percepatan swasembada hari ini, bolehlah kita pesimis hal itu tercapai di tahun 2014.
Sampai Desember 2012, pemerintah telah mendorong produksi padi melampaui target produksi, yaitu 68,96 juta ton dari target 67,82 juta ton, dan untuk komoditas lainnya seperti jagung, kedelai dan gula secara umum telah mencapai 85 persen dari target di tahun 2012. Untuk mencapai target tersebut, Indonesia telah menerapkan revitalisasi pertanian di tujuh daerah baik ada aspek tanah, benih dan bibit, fasilitas pendukung, sumber daya manusia, petani pembiayaan, lembaga petani, dan teknologi serta industri hilir (Kompas, Februari 2013).
Tidak ada yang tidak mungkin, suatu hari ini, Indonesia akan kembali menjadi macan asia, sebuah julukan yang diberikan setelah Indonesia berhasil melakukan swasembada pangan, hampir 20 tahun yang lalu. Tidak harus dengan Revolusi Agraria, yang penting bagaimana pemerintah bisa merangkul petani dan membatasi keran impor untuk produk yang bisa dihasilkan massal di negeri sendiri. Dan jangan lupakan sejarah. Founding father kita, Ir. Soekarno pernah mengatakan “mati hidup bangsa Indonesia bagaimana mengelola pangannya agar berdaulat, mandiri, dan ketahanan pangannya. Indonesia mampu, tidak perlu dengan kata-kata organisasi asing”.
Mari mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia. Demi Indonesia yang lebih baik untuk anak cucu kita kelak.
Y. Wilhelmus
Himpunan Mahasiswa Peduli Pangan Indonesia
*Mohon kompasianer mau memberikan caci-maki dan komentar terhadap tulisan ini*
Terimakasih. Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H