Mohon tunggu...
YS Wilhelmus
YS Wilhelmus Mohon Tunggu... Desainer - Buruh Negara

Sekarang tinggal di Kaltara, Provinsi termuda di NKRI. Pekerja Negara.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Local Wisdom Suku Dayak Tergeser Akibat Modernisasi

16 April 2012   08:49 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:33 3625
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13345638171527965087

Ada beberapa hal menarik terjadi saat ini di tanah kelahiran saya. Secara identitas kesukuan, saya bukanlah penduduk asli kalimantan, namun lahir di kota bontang, sebuah kota kecil di kalimantan timur yang sangat menjunjung pluralisme baik suku, bahasa, budaya maupun agama. di kalimantan, penduduk asli ditanah ini adalah suku dayak, adapun suku dayak sebenarnya memiliki peradaban yang sangat kuno, dari masa lampau. Namun, peradaban suku dayak tidak setenar dan sebesar suku asli jawa maupun peradaban - peradaban besar dunia lain seperti mesopotomia, romawi, india, dikarenakan suku-suku di Indonesia kebanyakan memiliki budaya lisan dan kisah-kisah yang diceritakan turun temurun.

Kearifan Lokal Masyarakat Dayak Anda mungkin masih mengingat beberapa waktu yang lalu terjadi pertikaian antara Suku Dayak dengan Front Pembela Islam (FPI) di Palangkaraya ? Seharusnya pertikaian seperti ini bisa dihindarkan, seandainya kedua belah pihak saling mengerti kearifan lokal suku dayak Kalimantan tengah. Suku dayak asli kalimantan memiliki kearifan lokal yaitu akan melakukan pengusiran secara adat, kepada pihak-pihak yang tidak diinginkan ataupun mengganggu mereka di tanah adat sendiri. Hal inilah yang menyebabkan pertikaian tersebut. Masyarakat adat Dayak, memiliki pengetahuan lokal tentang cara berladang yang menyelesaikan persoalan lingkungan hidup yang justru diabaikan oleh kalkulasi ekonomi modern. Masyarakat Banjar menemukan sistem pertanian sawah lestari dengan masukan rendah menghasilkan delapan ton padi per hektar. Semua itu membuktikan pengetahuan berbasis tradisi tidak berjalan di tempat. Contoh lain, ternyata pembuatan sampan masyarakat dayak tidak sesederhana yang kita bayangkan. Dahulu pembuatan sampan dilakukan dengan melubangi balok (log) kayu bulat kemudian kayu tersebut ditaruh di atas api hingga lubangnya sedikit membuka. Uniknya ada beberapa aturan yang tidak boleh dilanggar dalam pembuatan sampan. Berbagai kepercayaan yang berhubungan dengan pembuatan sampan antara lain :

  • Ketika menemukan kayu bagus, sedang di sampingnya ada kayu kecil, maka kayu tersebut tidak boleh digunakan sebagai sampan, karena menurut kepercayaan, kayu kecil tersebut akan menjadi penandu peti mati bagi orang yang membuat sampan tersebut.
  • Ketika menebang kayu ternyata kayunya tidak lari jauh dari tonggaknya maka tidak boleh dipakai untuk membuat sampan.
  • Apabila ada kayu yang bagus buat sampan, tapi bercabang dua yang sama, maka tidak boleh untuk membuat sampan.
  • Ketika ingin membuat dua sampan atau lebih dari kayu yang sama, maka sampan-sampan tersebut tidak boleh berukuran sama, karena akan menyerupai lungun (peti mati). Menurut kepercayaan, apabila kedua sampan dipakai dua orang yang berbeda, maka yang kalah semangatnya akan duluan mati, baru kemudian tidak lama menyusul setelahnya.
  • Ketika pertama turun ke sungai, sampan harus diarahkan ke hulu terlebih dahulu, ini menandakan bahwa sampan ini akan digunakan untuk kemajuan.
  • Kayu kokorek tidak boleh dibuat sampan. Apabila dibuat sampan, ketika sampan belum rusak, maka yang punya sudah mati duluan. Begitu bagusnya maka mengalahkan roh pemilik sampan itu sendiri

dan salah satu kasus paling terkenal bagaimana sebuah kearifan lokal masyarakat dayak digeser oleh ketidakarifan nasional dan global adalah pada pembukaan lahan besar-besaran untuk perkebunan. Investor nasional dan asing tidak pernah mengerti kearifan lokal masyarakat dayak yang melakukan nataki yaitu proses membuka hutan cara masyarakat dayak. Nataki biasanya dilakukan bersama-sama oleh satu kelompok masyarakat. Caranya dengan merobohkan pepohonan, belukar, atau ilalang di sekeliling lahan yang hendak dibakar. Lebar batas api itu antara tiga hingga lima meter. Nataki diperlukan agar api tidak menyambar lahan di luar kawasan yang hendak dibuka untuk bertani. Setelah dirobohkan, ilalang atau belukar biasanya disapu ke arah lahan yang hendak dibakar. Itu dilakukan supaya batas api itu benar-benar bersih. Pekerjaan itu tidak mudah karena pembersihan batas api harus dilakukan di sekeliling lahan. Padahal, lahan yang dibuka kadangkala hingga beberapa hektare sekaligus jika akan dikerjakan bersama oleh beberapa petani sekaligus. Setelah batas api bersih, mereka baru memulai membakar lahan. Sebelum membakar lahan, mereka biasanya juga mengamati arah angin. Mereka akan membakar searah tiupan angin, tetapi ujung lahan biasanya sudah dibakar sedikit supaya jika tiba-tiba angin membesar, api tidak keluar dari batas api. Lahan dibakar selama tiga atau empat hari. Saat abu sudah mengendap, petani baru menanami lahan dengan tanaman pangan atau sayur-sayuran. Dulu, tradisi buka lahan ini dirangkai dengan upacara adat. Sekarang, seperti dijelaskan oleh salah satu warga, meskipun tradisi nataki masih dipegang teguh, tak semuanya tradisi buka lahan dirangkai dengan upacara adat yang rumit. Masyarakat adat umumnya masih patuh terhadap hukum adat terkait pembakaran lahan. Warga adat yang diketahui membakar lahan dengan sengaja dan mengakibatkan kebakaran hebat akan terkena denda adat. Selain itu, warga tersebut juga akan diajukan ke penegak hukum untuk mendapatkan hukum pidana. Ketidakarifan nasional dan global, dalam kaitannya dengan kearifan lokal membuka lahan termanifestasi dalam adopsi cara membakar lahan yang salah. Tidak sedikit perusahaan yang membuka lahan di Kalimantan Barat dengan cara mem bakar lahan. Tanpa membuat batas api, perusahaan-perusahaan itu membakar lahan. Akibatnya, kebakaran meluas.  Inilah yang menyebabkan hutan kalimantan semakin sempit, dan menyebabkan kematian ribuan orangutan. Sungguh hal yang menyedihkan. baca juga : http://www.ceritadayak.com/2012/04/dayak-punan-tersingkir-dari-hutan-adat.html Proses tergesernya kearifan lokal Kearifan lokal atau yang lebih dikenal dengan sebutan local wisdom dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Ciri kearifan lokal yang berporos pada proses sebuah kebaikan ketimbang aplikasi semata menjadikannya sangat jauh dari hal yang instan sehingga menjadi cermin budaya bagi masyarakatnya, menjadi akar dalam pedoman kehidupan yang turun temurun, menjadi warisan bangsa.(Teezzi, Marchettini, dan Rosini) Namun kini zaman kian berubah, era globalisasi dan modernisasi memasuki semua negara termasuk Indonesia, budaya lokal mulai kian tergerus arus. Masyarakat muda yang yang diharapkan menjadi penerus warisan bangsa terlihat acuh tak acuh, seperti tidak adanya kepedulian dalam pelestarian budaya tersebut. Kehadiran budaya modernisasi memang tak bisa lagi dibendung sebagai konsekuensi logis dari kehadiran arus globalisasi. Mau tak mau memang harus berhadapan dengan budaya ini, bahkan tanpa terasa sudah masuk ke dalamnya sehingga terkadang terjadi pembenturan antara kedua budaya yang berhadapan yaitu budaya barat dengan budaya tradisional Indonesia yang oleh penghayatnya masih dipandang sebagai kebudayaan spiritual dan kebudayaan filosofis. Tidak berlebihan jika budaya modern banyak menciptakan kerugian-kerugian terutama pada hal yang bersifat normatif dalam budaya lokal seperti makanan-makanan instan tiap harinya, pakaian minim yang berporos pada budaya barat, bahkan ideologi berpikir kesenangan sementara (hedonisme) sering terlihat dalam ruang lingkup sosial. Perubahan budaya yang terjadi di dalam masyarakat Indonesia, yakni perubahan dari mental simpatik menjadi antipatif, dari nilai-nilai yang dihayati menjadi sebuah beban perkembangan zaman. Lebih mengkhawatirkan lagi, masyarakat muda lebih berkiblat kepada budaya yang datangnya dari luar, entah itu baik atau buruk yang penting dapat dianggap sebagai manusia modern yang menjunjung globalisasi. Misalnya saja setiap hari masyarakat disuguhi tanyangan TV yang bersumber dari negara maju seperti Amerika, belum lagi siaran TV international. Yang menjadi pertanyaan adalah kapan budaya serta kesenian Indonesia terlihat dan muncul di dalamnya? Mereka lebih suka melihat video klip artis mancanegara yang seksi dan energic dibandingkan untuk menonton tari hudog ataupun mendengarkan gamelan jawa. (dikutip dari berbagai sumber, dgn beberapa perubahan) Yustinus Wilhelmus Aktivis Hutan Greenpeace Indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun