Mohon tunggu...
yessita dewi
yessita dewi Mohon Tunggu... -

menulis apa yang ingin ditulis, tertarik pada epos sejarah dan heritage

Selanjutnya

Tutup

Nature

Kota yang Tanpa Sadar Kini Kucintai

17 April 2011   17:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:42 558
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1303062563697708033

Kota Solo. Sebuah kota yang menyimpan banyak cerita sejarah dan kebangkitan bangsa dalam berbagai lini.  Bagaimana tidak, Syarikat Dagang Islam, sebuah organisasi pribumi lahir di kota ini. Tonggak sejarah kepenyiaran dan jurnalistik juga berawal di Solo bahkan PON I yang diresmikan Bung Karno diselenggarakan di Stadion Sriwedari pada tanggal 9 -12 September 1948 yang kemudian kita peringati setiap tahunnya sebagai peringatan Hari Olah Raga Nasional.  Berbicara tentang Kota Solo tentu tak lepas dengan peninggalan jejak sejarah yang hingga kini masih berdiri megah, Keraton Surakarta Hadiningrat dan Pura Mangkunegaran. Istana yang masih terus menerus berjuang dengan minimnya dana perawatan warisan budaya yang menjadi daya tarik utama kota ini. Yang menjadi gerak hati tulisan ini muncul  sebenarnya bukan itu. Solo adalah tempat yang sejak kecil sering aku dengar karena tidak jarang ayah yang menjadi abdi negara bertugas di Solo barang 1 hingga 2 hari. Hanya kakakku yang sangat bersemangat ketika dulu diajak naik kereta 'Kuda Putih' dari Stasiun Kebonpolo - Magelang sampai Solo yang tentu saja transit di Stasiun Tugu Jogja.  Akan banyak cerita yang bercampur dengan khayalan anak kecil - kebetulan kakakku ini pandai 'mendongeng'- tentang kota Solo. Tentang Stasiun Balapan, tentang Keraton Solo dan pada waktu itu makanan yang digemari dari kota ini Gethuk Lindri. Makanan yang kata Bu Guru SD-ku dulu adalah makanan dari Solo, meski ketika besar aku tahu bahwa kota Solo jarang ada singkong bagus untuk dibuat gethuk kecuali dari Boyolali dan Wonogiri.  Semangat dongeng sang kakak itu sedikitpun tak merubah ketidak tertarikanku pada kota yang dalam bayanganku pasti sangat membosankan. Dan Benar! Pada tahun 1990, Ayah pindah tugas dari kota Palembang ke kota Solo. Ada rasa malas yang menyusup tiba-tiba datang menghilangkan rasa antusias untuk pindah rumah. Kenapa? Karena Ayah harus bertugas di Solo. Berangkat berdua bersama kakak yang kebetulan laki-laki, kami naik bus Putra Remaja jurusan Palembang - Jogja mengawal barang-barang yang sebagian akan dititipkan di keluarga nenekku di kota Magelang. Singkat cerita, dalam masa 'kemalasan dan tak antusias' akan kota tujuan berikutnya setelah dari Magelang yaitu Solo, Ayah dan Ibuku membuat keputusan yang sangat melegakan. Aku beserta kakak dan adikku akan menyelesaikan sekolah di Magelang baru kemudian menyusul ke Solo. Kelegaan yang menyenangkan karena aku tidak harus tinggal di kota yang entah karena apa sejak kecil tak menarik hatiku. Lucu ya.  Dalam perkembangannya aku harus menerima bahwa setiap liburan aku harus pulang ke Solo. Pertama pulang sendiri ke Solo, kesasar!! Nah Lho, jangan-jangan kota ini tahu aku kurang minat untuk tinggal. Untung tak kebablasan ke Surabaya.  Bahkan hingga aku lulus SMA, tak jarang aku kembali ke Magelang yang memang tanah kelahiranku untuk sekedar bertemu teman-teman lama dan berjalan sendirian di Pecinan dengan iringan lagu yang ingar-bingar dari toko-toko kaset yang dulu sering aku masuki ketika masih sekolah. Romantisme masa lalu. Dan romantisme bersama sobat-sobat lama itu akan pudar seiring roda Bus AKAP jurusan Magelang - Jogja  yang nantinya harus oper lagi untuk ikut Bus AKAP  jurusan ke kota Solo.  Ada keinginan untuk melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi di luar Solo, sayang tak direstui. Akhirnya dengan terpaksa aku mencintai kota ini dengan segala kejenuhan yang ditimbulkan. Ketika itu, Solo menjadi langganan piala Adipura, dan sinisku sering muncul karena sebenarnya masih banyak tempat-tempat dan sudut yang tak tertata. Panas, lambat, dan pengab.  Mungkin Tuhan selalu berusaha membuka hatiku untuk menerima kota tua ini, hanya saja mungkin aku yang bebal. Suatu hari, aku mencoba mencari tahu sebab ketidak sukaanku pada kota Solo. Aku coba membaca buku-buku sejarah seperti dari masa Pajang, Demak, Mataram, hingga munculnya perjanjian Giyanti dan lahirnya Trah Mangkunegara. Aku yang kebetulan menyukai bangunan-bangunan tua coba aku susuri dengan rute bus tingkat maupun bus kota. Penelusuran kota dan literasi tentang Solo disela pekerjaan dan kuliahku tak sadar justru membuatku semakin memperhatikan perkembangan Kota Solo. Dua peristiwa kerusuhan yang aku saksikan dengan mata kepalaku sendiri pada tahun 1998 dan ketika tak terpilihnya 'Ibu' mereka menjadi presiden tetapi 'hanya' wakil presiden pada saat itu, sangat membuatku miris bercampur marah pada orang-orang yang tak bertanggungjawab itu. Untuk kedua kalinya kota ini berbenah, Balai Kota yang pada awalnya bangunan kuno dan dirombak menjadi pendopo itu tinggal arang dan puing yang berasap. Untuk kedua kalinya Kota Solo harus menanggung banyak pengangguran karena kerusuhan. Peristiwa yang hingga kini masih tak bisa diterima akalku. Masa berlalu membuat masyarakat sepertinya sadar tentang kesia-siaan kemarahan mereka. Tanpa sadar aku merasa bahwa banyak potensi kota yang mulai dilupakan.  Banyak hal yang bisa menjadi kekayaan kota ini, sayang aku hanya masyarakat kecil yang kebetulan tak punya kekuatan apapun untuk membangunkan kepedulian kecuali dari obrolan dan sesekali menjadi materi siaran. Dan masa itu datang. Solo berubah! Tak bisa dipungkiri hadirnya sosok laki-laki bersahaja nan sederhana membuat pandangan 'keenggananku' akan kota Solo berubah. Seorang walikota dengan tujuan jelas dan lugas membuat Solo kembali berseri. Keakrabanku dengan beberapa Sentana dalem dan kerabat Keraton Surakarta semakin menambah dan memupuk ketertarikanku pada kota ini. Lengkap! Peran dan sumbangan Paku Buwono XII pada masa kemerdekaan semakin bisa menjawab ketika masih banyak yang menganggap Solo adalah 'antek' kolonial pada masa penjajahan. Minat pada seluk beluk budaya Jawa pada masa lalu semakin tinggi. Tak sadar, aku mengagumi tegarnya kota yang ditemukan setelah seekor gajah kerajaan berhenti tak mau berpindah ini.  Megahnya sebuah kampung yang lebih tua dari masa Mataram, Laweyan yang dulu menjadi tempat tinggal Ki Ageng Henis.  Kota yang seolah tak berhenti berbenah menjadi rapi dan bersih. Kini Kota Solo semakin menjadi daya tarik karena keragaman kuliner, batik, dan suasananya. Di Solo siapapun bisa menikmati kereta uap tua dari Jerman yang kembali dioperasikan bernama Jaladara, spoor yang melintasi jalur protokol sampai Stasiun Kota Sangkrah. Bis tingkat yang dulu menjadi transportasiku ketika harus datang tepat waktu untuk On Air,  kini hadir dengan wajah yang baru.  Nama Werkudara akan disandang bus berwarna merah yang akan membawa keliling menikmati kota Solo, Rail bus yang menjadi moda transportasi modern, setidaknya itulah harapan kedepan untuk mengatasi kemacetan yang mulai menghantui kota Solo. City Walk, taman-taman di bantaran sungai meski masih dibayangi tangan tak bertanggung jawab, Pramex yang setiap jam hadir, Car Free Day yang sudah berlangsung selama 1 tahun, dan event-event berkelas Internasional rajin dihelat di kota ini. Banyak hal yang ditawarkan kota yang terus berbenah bersama seorang 'Major' Joko Widodo sang forester.  Kesenian rakyat masih berlangsung walau kembang kempis, tetapi kantung-kantung seni yang menampung generasi muda semakin banyak. Sanggar-sanggar tari semakin giat, para muda kreatif selalu hadir dalam Solo Batik Carnival dan masih banyak lagi tempat untuk mengekspresikan jiwa berkesenian. Kota Solo, sebuah kota yang dulu hijau dan teduh, semoga tetap teduh. Pohon-pohon tua yang sudah tertanam sejak masa lalu dengan jenis berbeda di setiap tempat sebagian masih kokoh berdiri dipinggir jalan. Taman-taman yang kadang kembali rusak ketika karnaval tiba atau kemeriahan Malam 1 Suro,  tong-tong sampah di sepanjang City Walk yang kadang bolong, perilaku buang sampah yang masih harus terus dibenahi menjadi pekerjaan rumah bagi semua masyarakat.  Kesadaran akan 'sense of belonging' pada fasilitas umum masih sangat kurang. Kota Solo, sebuah kota yang kini tanpa sadar aku peduli. Sebuah kota yang sarat akan bangunan-bangunan tua yang menyimpan cerita yang kadang ingin kuselami. Rasa sayang yang tumbuh secara perlahan ini membuatku seperti bertemu pepatah lama " Witing tresna jalaran saka kulina". 'Pakulinan' yang membuat 'katresnan' itu timbul.  Rasa peduliku akan kelestarian apa yang ada di kota Solo hingga saat ini hanya sebatas ikut berkegiatan ringan bersama teman-teman di komunitas sepeda yang mengusung motto " Go Green with Seli". Rasa sayang yang kadang kubawa Kota Solo sebagai setting dari kebanyakan cerpen maupun sinopsis yang aku tulis.  Karena baru itu yang aku mampu untuk menyatakan rasaku. Kini, aku akan semangat menceritakan tentang keteduhan pohon-pohon di Kota Solo meski kian menipis, kemeriahan dan suka cita warga masyarakat yang tumpah ruah ketika mengikuti sebuah acara dan karnaval, kebanggaan sebuah Kota tua yang menjadi tuan rumah beberapa kegiatan seni dari mancanegara, etc..etc... Ceritaku tentang kota Solo bukan lagi kejenuhan dan kelambanan.  Tapi tentang berbenahnya sebuah kota yang telah berusia 266 tahun.. Semoga semakin banyak ruang terbuka hijau yang meneduhi semua yang datang ke kota ini. Saung Solo, 18/04/2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun