[caption id="attachment_143613" align="aligncenter" width="640" caption="Rudi Farid Hidayat, korban lumpur lapindo (berdiri memegang mik) saat meluapkan isi hatinya di acara Launching Novel "][/caption] Ada komentar menarik pada novel berjudul "LUMPUR" yang dilaunching di Gramedia Matraman, Jakarta, 12 November 2011. Komentar itu berbunyi demikian, "Novel ini hadir ketika sebagian fiil jurnalisme sudah, sedang dan akan disumpal dengan siasat bahwa petaka di Porong adalah 'Lumpur Sidoarjo', bukan 'Lumpur Lapindo'. Lebih menarik lagi karena komentatornya berasal dari insan pers sendiri, yakni Yuli Akhmada. Gayung bersambut, komentar Redaktur Harian SURYA tersebut sangat terasa di arena launching novel "LUMPUR", dimana acara itu ramai dikunjungi pecinta buku tetapi semua awak media yang diundang tak menunjukkan batang hidung. Ya, hebat sekali kekuatan "para penyumpal" itu, sehingga teriakan dan jeritan duka derita kemanusiaan tak pernah terdengar nyaring. "Ah, jangankan hanya dongeng di atas kertas, gugatan hukum pun tumbang di meja hijau!" seloroh seorang kawan ketika kami berbincang di sebuah warung kopi. "Kebenaran tidak akan pernah menang melawan uang dan kekuasaan, bila hanya diperjuangkan oleh orang-orang miskin yang tak berdaya." Pungkasnya. Meskipun kawan itu berseloroh dengan mimik canda, ungkapannya sempat membuatku merinding. Pikiranku jadi mengawang-awang tak keruan membayangkan, sungguh teramat susah memang memenangkan kebenaran di negeri yang diurus dengan ideologi korporasi, yang lebih berorientasi kepada pihak pemodal dan konglomerat. Pancasila sebagai falsafah negara telah lama jadi hiasan dinding belaka dimana sila-sila yang luhur nan mulia dikandungannya telah dilupakan. Hingga aku memutuskan untuk mampir menuliskan sepercik pikiran ini di Kompasiana, ungkapan terakhir kawan itu, sebelum kami berpisah, masih terngiang-ngiang. "Kawan," katanya sambil memegang pundakku. "Kekuasaan yang tunanurani jauh lebih licik dari Iblis, dan mereka sangat kuat. Bahkan Tuhan sekalipun mereka lawan!" Aku pun jadi teringat kembali pada cerita Rudi Farid Hidayat pada acara Launching novel "LUMPUR", dia adalah salah satu dari korban lumpur lapindo yang merasa dizalimi. Surat perjanjian ganti rugi yang dia tandatangani, dan di dalam surat itu tertera komitmen pembayaran ganti rugi 80 % dari total nilai kerugiannya, dimana rumah, tanah dan kampung halamannya hilang di kubangan lumpur itu, ternyata sampai 5 tahun tak kunjung benar-benar dipenuhi. " Sampai sekarang saya hanya menerima uang 10 juta rupiah," akunya dengan mata berkaca-kaca. Namun, aku masih bisa tersenyum simpul, bila teringat tulisanku kemaren yang iseng, namun mendadak menjadi HL di Kompasiana. Tapi, hmm ... Apalah daya Kompasiana untuk menyuarakan setiap tangisan dan duka derita kemanusiaan di negeri ini, bila harus berhadapan dengan kekuasaan yang telah bersekutu demikian rupa dengan kekuatan Iblis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H