Mohon tunggu...
T I
T I Mohon Tunggu... wiraswasta -

TI Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Kami Bukan Badut, Tapi Nasib Kami Jadi Lelucon

15 Desember 2011   11:41 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:13 611
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_148936" align="aligncenter" width="604" caption="Bedah buku, "][/caption] Setelah diluncurkan pertamakali di Gramedia Matraman Jakarta 12 November 2011, Lumpur, buku pertama dari novel trilogi tanah dan cinta dibedah dilima tempat berbeda di Yogyakarta. Yaitu, di Radio Buku (27-11-2011), Swaragama (8-12-2011), TB Togamas Affandi (9-12-2011), ADTV (12-12-2011) dan  Universitas Ahmad Dahlan (13-12-2011).  Buku ini merupakan novel yang bertutur tentang tragedi semburan lumpur lapindo di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, yang sampai sekarang belum terhentikan. Jurnalis, Damhuri Muhammad, memberi catatan singkat tentang novel "LUMPUR" sebagai novel pertama yang menegaskan panggilan penciptaan dari maha-bencana semburan lumpur-Lapindo, atau yang belakangan hendak dialih-istilahkan menjadi "lumpur-Sidoarjo". Pengarangnya berupaya membendakan sebuah peristiwa tentang tanah kelahiran yang tenggelam untuk selama-lamanya. Kelak, bila anak-anak korban lumpur-Lapindo sudah dewasa, tentu dapat menziarahi kampung halaman mereka dengan mengunjungi "museum kenangan" penuh elegi, yang termonumentasi sedemikian rupa dalam novel itu. Yazid R Passandre, penulis novel "LUMPUR" (terdiri dari 471 halaman 49 bab), dalam sebuah pengantarnya, melontarkan pertanyaan menggugah rasa kemanusiaan: "Korban lumpur itu seolah jenis korban bencana yang tak ada dalam kitab-kitab suci. Bagi orang-orang yang tak berharta banyak, tempat tinggal setengah permanen di atas tanah yang tak luas memang tak seberapa punya harga dan arti material. Tapi, di sanalah bangunan memori kehidupan mereka bersemayam, bahkan hal paling penting bagi sebuah masyarakat yang beridentitas: kekayaan budaya dan tradisi. Bukankah memang tempat tinggal adalah surga, kampung halaman adalah nirwana, semua ingatan tentang kehidupan manusia bersama lingkungan sosialnya adalah separuh jiwa setiap manusia. Dengan alasan apa lagi mereka bisa menepis kepedihan menghadapi itu semua?" Sujarwo, dosen sastra Universitas Ahmad Dahlan mengaku sangat gembira. "Dilihat dari judulnya, LUMPUR, jelas mewakili wajah sastra Indonesia dan memiliki otentisitas sastrawi. Novel ini adalah antitesis novel kearab-araban yang sedang tren saat ini, yang lahir dengan spirit membela kaum tertindas." Dalam pengantar penulis, ada juga sebuah kutipan menarik yang melukiskan keluh-kesah warga korban lumpur lapindo: “Kembalikan kampung halaman kami!” Tomo melepas kesal sambil menoleh ke belakang, mengangkut barang-barang dengan gerobak menuju ke tempat pengungsian. Kami tidak mungkin menganggap kalian badut, tapi kalian telah membuat nasib kami jadi lelucon. Batinnya. Pada acara bedah buku di Universitas Ahmad Dahlan, sang penulis menegaskan bahwa novel "LUMPUR" tak hanya mengungkap tragisnya tragedi lapindo, yang telah menenggelamkan 3 Kecamatan dan lebih dari 20 desa perkampungan, tapi juga mengangkat sikap pantang menyerah dan semangat ketangguhan warga dalam menghadapi tragedi sedahsyat itu. "Bayangkan, anak-anak korban bencana itu masih bisa mengatakan bahwa mereka masih punya cita-cita dan ingin terus sekolah. Inilah sebenarnya mental keindonesiaan itu, tak mudah rapuh meski harus berhadapan dengan kesulitan hidup yang membadai. Sayangnya, mental pantang menyerah sebagai ciri bangsa Indonesia, seringkali dimanipulasi secara politis. Kadang-kadang aneh juga, mengapa justru orang yang membela diri, membela hak-haknya, yang dipersalahkan dan dianggap politis." Pungkas Yazid. Yazid menutup pengantarnya dengan menggabarkan kehidupan korban yang penuh ketidakpastian. "Seperti rombongan berunta di padang pasir, mereka membawa beban banyak di punggung, berjalan perlahan untuk mencari tanah tetirah sementara. Belum jelas ke mana perjalanan itu, tempat yang dituju masih mengawang-ngawang: ke kolong jembatan, ke tenda-tenda darurat, ke pasar atau ke tempat yang entah di mana mereka bisa singgahi."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun