Mohon tunggu...
T I
T I Mohon Tunggu... wiraswasta -

TI Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Benang Merah Tragedi Lapindo-Papua-Mesuji dan Konflik Tanah dalam Wajah Sastrawi

20 Desember 2011   18:44 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:58 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_150252" align="aligncenter" width="495" caption="http://www.google.co.id"][/caption] Dalam acara Indonesia Lawyer Club (ILC) di TV One malam tadi; yang mengangkat tema tragedi Mesuji, aktor Sujiwo Tejo mengutarakan sebuah ungkapan menarik: Tanah tak hanya memiliki nilai materil, tetapi juga nilai filosofis yang tinggi. Ungkapan ini selaras dengan pandangan Yazid R Passandre, penulis novel "LUMPUR", buku pertama dari trilogi tanah dan cinta. Dalam novel berlatar tragedi semburan lumpur Lapindo itu, Yazid mengangkat narasi dan dialog konflik tanah dalam wajah sastrawi. Mari kita simak. _______________________________________ “Sudahlah, Pak. Saya tidak mau menjual tanah itu!” “Tahan sikapmu, jangan berlagak konglomerat!” Daya sudah kehilangan keluguan dan kepolosannya. Janji Suro yang terulur-ulur tentang bantuan itu telah membuat perempuan santun ini kehilangan rasa takzim. Suro belum juga menyerah. Ia mengejar Daya yang tengah melangkah ke ambang pintu. “Kamu harus bisa berfikir jernih. Buat apa mempertahankan tanah yang cuma sepetak?” “Maaf, Pak. Saya tidak bisa pura-pura. Biar sepetak, tanah itu warisan anak saya satu-satunya.” “Dengan harga beli berlipat-lipat mahal dari harga tanah pada umumnya, kamu bisa dapat tanah baru yang lebih luas. Kamu juga bisa memberikan warisan lebih banyak.” “Saya akan wariskan tanah itu di sini, Pak. Anak saya akan tinggal selamanya di kampung ini. Kami tidak akan meninggalkan kampung halaman!” “Itu tindakan bodoh!” raut muka Suro menegang, merah padam. Ia mulai naik pitam. “Apa menariknya tanah dan rumahmu itu?!” Daya benar-benar sudah kehabisan kesabaran. Ia lawan tatapan Suro lekat-lekat. “Ingat Kedung Ombo, Pak! Ingat Nipah! Ingat Papua! Banyak lagi tanah di negeri ini yang dipertahankan pemiliknya. Bahkan mereka rela bertaruh nyawa. Justru saya heran, kenapa pemerentah selalu berpihak pada konglomerat? Kenapa tidak membela rakyat?” “Jangan selalu memojokkan pemerentah! Kalau pemerentah tidak mengakui kamu sebagai warganya, kamu tidak akan punya tanah di sini. Atau di mana pun di negeri ini. Paham!” “Tanah kami karunia Tuhan. Bukan pemberian pemerentah! Bapak tidak boleh semenamena!” “Kami?” “Ya, kami. Warga yang tidak mau menjual tanah ke perusahaan itu.” Daya menghela nafas, panjang. Suro hanya menatap bengang, dan seakan tak percaya bila orang yang tengah menyeramahinya adalah perempuan udik termiskin di kampungnya, yang selama ini bisa dengan mudah ia permainkan. Melihat wajah Daya seseksama mungkin, juga kata-katanya yang lugas, Suro membatin. Cantik, lugu, tapi ternyata juga tegas dan pintar seperti anaknya. “Ingat, Pak. Walaupun tanah saya kurang berarti bagi orang lain, saya menyayanginya. Saya akan terus memeliharanya. Itulah cara saya berterima kasih pada Tuhan.”

_________________________________________________

Narasi dan dialog di atas juga menggambarkan posisi penguasa yang acapkali secara terselubung menjadi bagian dari kepentingan pengusaha. Hal ini memiliki hubungan yang kuat dengan fakta tragedi Mesuji, dimana warga yang menggugat hak-hak mereka justru dilindas, bahkan ada yang dibantai dengan leher terpenggal. Warga yang menggugat juga sampai sekarang masih ada yang hidup di tenda-tenda pengungsian, dan tak mendapatkan layanan Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Tanah adalah jatung kebudayaan. Hilangnya tanah berarti berhentinya denyut nadi kebudayaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun