"Sulit membangun peradaban tanpa budaya literasi," Thomas Stearns Eliot (1888)
***
Dalam konteks religiusitas, bulan Ramadan seringkali dijadikan momentum istimewa untuk meningkatkan amalan baik. Beragam kegiatan dirancang dan bahkan telah direncanakan jauh-jauh hari sebelumnya untuk menyambut bulan suci Ramadan. Tak heran karenanya bulan Ramadan sering menjadi bulan tersibuk dengan beragam kegiatan yang dihelat kaum muslimin. Namun dari sederet kegiatan Ramadan itu, ada satu aktivitas yang semestinya mendapat perhatian tersendiri, yaitu "kegiatan literasi".Â
Mengapa ini harus mendapat perhatian tersendiri karena wahyu pertama dalam al-Qur'an yaitu surat al-'Alaq (96) ayat 1-5 turun persis pada bulan Ramadan dengan pesan utama perintah untuk membaca: "Iqra! atau bacalah!" Ini artinya bahwa bulan Ramadan juga dapat dimaknai sebagai "bulan literasi".
Kegiatan Literasi Ramadan dapat mencakup dua hal. Pertama, secara spesifik yaitu literasi al-Quran sebagai kitab suci kaum muslimin. Hal ini menjadi urgen mengingat hasil penelitian yang dilakukan Institut Ilmu al-Quran (IIQ) yang menyebutkan bahwa tingkat literasi umat Islam Indonesia terhadap al-Qur'an masih rendah.Â
Menurut hasil penelitian IIQ, sekitar 65 persen umat Islam di Indonesia masih buta aksara al-Quran, hanya 35 persen yang bisa membaca al-Quran, dan hanya 20 persen saja yang dapat membaca al-Quran dengan baik. Kondisi ini tentu menjadi ironis bagi Indonesia sebagai negeri dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Karena itu, Ramadan harus menjadi momentum tepat untuk meningkatkan kegiatan literasi kitab suci.
Kedua, membaca dalam konteks yang lebih luas. Potret rendahnya budaya literasi negeri ini sungguh sudah menjadi rahasia umum. Banyak survey dan hasil penelitian yang menunjukkan betapa budaya literasi di negeri ini masih masuk kategori memprihatinkan.Â
Salah satunya yang paling menohok adalah temuan United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) yang menyebutkan bahwa indeks minat baca di Indonesia hanya mencapai 0,001. Artinya, dari setiap 1.000 penduduk Indonesia, hanya satu orang saja yang memiliki minat baca serius.Â
Tentu banyak pihak yang prihatin atas situasi dan kondisi ini. Namun parade keprihatinan saja pasti tidak cukup dan tidak akan mengubah situasi apapun. Lantas, apa yang harus dilakukan?
Perjalanan sejarah peradaban manusia menunjukkan bahwa budaya literasi punya peran sangat vital dalam meraih kemajuan suatu bangsa. Dari lintasan perjalanan sejarah, kita mengetahui bahwa bangsa-bangsa yang maju peradabannya adalah bangsa yang sangat kuat tradisi tulis-bacanya. Bangsa-bangsa yang maju adalah mereka yang memiliki apresiasi tinggi pada budaya literasi. Tidak heran jika sastrawan Amerika Serikat, Thomas Stearns Eliot (1888) berpetuah "Sulit membangun peradaban tanpa budaya literasi".