Mohon tunggu...
Yulia Rahmawati
Yulia Rahmawati Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis, Editor, Blogger, Peneliti

Freelancer

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rambu

29 Oktober 2011   17:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:18 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Matahari belum beranjak jauh dari peraduan, hanya berjarak sepenggelahan menyapa siang yang terang benderang. Lengkingan klakson dan gemuruh mesin kendaraan memecah pagi di jalanan ibu kota. Jalan padat merayap bagai pameran mobil dan motor berbaris di tengah jalan. Diam tak bergerak.

“Macet ya Neng?” Tanya kakek tua yang duduk di hadapanku.

“Bukan Kek, lampu merah,” jawabku menahan sesak.

Kepulan asap menyergap di antara gerombolan penumpang yang berdiri tegap di dalam bis kota tiga perempat. Aku menghirup di antara bau keringat. Walau pagi baru hinggap, tapi padatnya penumpang tetap saja memunculkan bau tak sedap. Semilir angin yang menyelusup lewat kaca jendela menjadi penyelamat.

Bukan aku tak mau naik bis yang kosong dan nyaman, duduk berpangku tangan dan menghirup udara segar, tetapi bis kuning tiga perempat inilah yang jalannya cepat, dan resikonya banyak peminat sehingga selalu penuh sesak.

Beberapa detik lagi lampu merah akan beranjak, para penumpang mulai menghela nafas karena sebentar lagi akan lepas dari kemacetan. Rambu lampu hijau mulai menyala, tapi mobil dan motor yang di depan bis tidak beranjak. Tetap diam di tempat. Klakson pun mulai bersahutan seiring gerutuan penumpang yang melihat rambu lalu lintas yang dilanggar, padahal banyak polisi yang beredar.

“Neng, kok lampu merahnya lama?” Tanya Ibu yang duduk di sebelah Kakek.

“Nggak tahu Bu, tapi rambunya sudah lampu hijau,” jawabku.

Walau duduk, kakek tua itu mulai meringis seperti kesakitan.

“Kenapa Kek?”

“Nggak apa-apa. Hanya sedikit sakit,” jawab Kakek pelan.

“Kakek mau kemana?” tanyaku penasaran.

“RSUD, berobat,” jawab Ibu tua yang duduk di sebelah Kakek.

Pandanganku kembali menatap rambu lalu lintas. Lampu hijau pun kembali merah. Gerutuan penumpang mulai memelan, mungkin kekesalannya mulai memudar. Terdengar serine mobil peringatan, iring-iringan mobil dan motor polisi pun lewat di antara mobil hitam yang mengkilat.

“Waaaah… ternyata ada pejabat lewat,” celetuk seorang penumpang.

“Pantesan macet. Pagi-pagi pejabat dah bikin susah rakyat,” kata penumpang lainnya.

Aku yang mendengar celetukan para penumpang ingin ikut juga berteriak, menanyakan ketaatan pelayan publik dan pejabat pada peraturan yang telah mereka buat. Namun aku pikir-pikir, percuma saja aku berteriak, toh mereka juga nggak akan menggubrisnya. Lagipula kan ini bukan pertama kali yang aku lihat.

“Pak…pak…pak…” terdengar suara panik ibu yang menemani kakek yang tadi menyapaku. Ibu itu berteriak-teriak sambil mengguncang-guncang tubuh kakek yang terlihat goyang semua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun