Matahari belum beranjak jauh dari peraduan, hanya berjarak sepenggelahan menyapa siang yang terang benderang. Lengkingan klakson dan gemuruh mesin kendaraan memecah pagi di jalanan ibu kota. Jalan padat merayap bagai pameran mobil dan motor berbaris di tengah jalan. Diam tak bergerak.
“Macet ya Neng?” Tanya kakek tua yang duduk di hadapanku.
“Bukan Kek, lampu merah,” jawabku menahan sesak.
Kepulan asap menyergap di antara gerombolan penumpang yang berdiri tegap di dalam bis kota tiga perempat. Aku menghirup di antara bau keringat. Walau pagi baru hinggap, tapi padatnya penumpang tetap saja memunculkan bau tak sedap. Semilir angin yang menyelusup lewat kaca jendela menjadi penyelamat.
Bukan aku tak mau naik bis yang kosong dan nyaman, duduk berpangku tangan dan menghirup udara segar, tetapi bis kuning tiga perempat inilah yang jalannya cepat, dan resikonya banyak peminat sehingga selalu penuh sesak.
Beberapa detik lagi lampu merah akan beranjak, para penumpang mulai menghela nafas karena sebentar lagi akan lepas dari kemacetan. Rambu lampu hijau mulai menyala, tapi mobil dan motor yang di depan bis tidak beranjak. Tetap diam di tempat. Klakson pun mulai bersahutan seiring gerutuan penumpang yang melihat rambu lalu lintas yang dilanggar, padahal banyak polisi yang beredar.
“Neng, kok lampu merahnya lama?” Tanya Ibu yang duduk di sebelah Kakek.
“Nggak tahu Bu, tapi rambunya sudah lampu hijau,” jawabku.
Walau duduk, kakek tua itu mulai meringis seperti kesakitan.
“Kenapa Kek?”
“Nggak apa-apa. Hanya sedikit sakit,” jawab Kakek pelan.
“Kakek mau kemana?” tanyaku penasaran.
“RSUD, berobat,” jawab Ibu tua yang duduk di sebelah Kakek.
Pandanganku kembali menatap rambu lalu lintas. Lampu hijau pun kembali merah. Gerutuan penumpang mulai memelan, mungkin kekesalannya mulai memudar. Terdengar serine mobil peringatan, iring-iringan mobil dan motor polisi pun lewat di antara mobil hitam yang mengkilat.
“Waaaah… ternyata ada pejabat lewat,” celetuk seorang penumpang.
“Pantesan macet. Pagi-pagi pejabat dah bikin susah rakyat,” kata penumpang lainnya.
Aku yang mendengar celetukan para penumpang ingin ikut juga berteriak, menanyakan ketaatan pelayan publik dan pejabat pada peraturan yang telah mereka buat. Namun aku pikir-pikir, percuma saja aku berteriak, toh mereka juga nggak akan menggubrisnya. Lagipula kan ini bukan pertama kali yang aku lihat.
“Pak…pak…pak…” terdengar suara panik ibu yang menemani kakek yang tadi menyapaku. Ibu itu berteriak-teriak sambil mengguncang-guncang tubuh kakek yang terlihat goyang semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H