[caption id="attachment_393441" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi - pembangunan Bendungan Jatigede. (Kompas.com)"][/caption]
Ketika kampung halaman akan ditenggelamkan, bagaimana perasaan kita? Begitu yang saya rasakan ketika minggu lalu bermain ke rumah teman yang kampung halamannya sebentar lagi digenangi air untuk dijadikan Bendungan Jatigede.
Sabtu, 17 Januari 2015, saya berkesempatan bermain ke rumah teman di daerah Cipaku, tepatnya Kabuyutan Cipaku, Darmaraja, Sumedang. Kampung adat ini masuk wilayah penggenangan air untuk Bendungan Jatigede.
Rasa penasaran yang membuat saya mengunjungi daerah ini. Teman bercerita ada banyak situs bersejarah, sawah dan hutan yang akan terendam air.
Bendungan yang sudah direncanakan sejak zaman Presiden Suharto, kemudian baru pembuatan bendungan masa Presiden SBY, dan melalui Pepres No. 1 tahun 2015, Presiden Joko Widodo menetapkan penggenangan Bendungan Jatigede. Banyak kalangan yang menolak pembuatan bendungan ini, terutama para pemerhati kehutanan dan lingkungan. Salah satunya BPLKTS (Badan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda) sudah dua kali menyurati Presiden SBY untuk meminta menghentikan proyek Bendungan Jatigede dengan berbagai pertimbangan penting, secara ringkasnya lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya, baik bagi lingkungan alam dan manusia sendiri.
Sudah 30 tahun lebih rencana pembuatan Bendungan Jatigede. Ada banyak halangan dalam proses pembuatan bendungan. Terutama alam. Demikian kata salah seorang warga yang saya temui. Tahun 1980, rencana pembuatan bendungan sudah ada. Ketika tahun 1982 untuk proses pembebasan tanah, Gunung Galunggung meletus, dan menghambat proses ganti rugi tanah. Saat itu masih dalam tahap uang muka. Dengan perkiraan harga tanah di tahun tersebut dengan harga Rp 40-50 ribu per tumbak, warga hanya mendapat Rp 5000. Dengan kondisi pemerintahan saat itu, warga tidak menolak, karena bila menolak akan berakhir ke penjara. Namun demikian, rencana pembangunan bendungan berhenti. Tahun 1996, rencana kemudian bergulir. Tahun 1998, Pak Suharto lengser.
Pada masa SBY, kembali rencana Bendungan Jatigede dibangun. Investornya dari negara Cina, dan proyeknya pun dipegang oleh orang Cina. Lalu, tahun 2015, Presiden Joko Widodo menandatangani penenggelaman kampung kami. Demikian kata warga setempat. Kami berharap, Presiden Jokowi blusukan ke kampung kami. Lihat sebenarnya dengan keadaan kampung kami sebelum ia menandatangani Pepres. Jelasnya dengan raut penyesalan.
Warga Sumedang, terutama daerah Darmaraja sendiri memiliki tradisi atau adat tersendiri dalam memelihara lingkungan. Pembuatan bendungan sendiri sudah mereka dengar dalam cerita rakyat lisan, di antaranya Babon Darmaraja, uga dan wangsit Siliwangi yang berkenaan dengan Sumedang.
Kabuyutan Cipaku menjadi sentral tempat sakral daerah Sumedang. Sebagaimana kabuyutan, ada hutan larangan yang harus dipelihara dan dijaga. Namanya hutan larangan Cipeueut. Di dalam hutan larangan ini ada makam dan petilasan tapa Resi Guru Ajiputih, penggagas kerajaan Sumedang sekaligus penyebar Islam pertama di Sumedang.
Ketika kemaren menelusuri jejak bakal bendungan Jatigede, sekaligus kami dikenalkan dengan nama-nama tempat yang sudah tertera dalam uga. Seperti menelusuri lorong waktu, yang diramalkan dalam cerita rakyat pun, kini berada di depan mata. Para leluhur Sumedang telah memberikan pesan akan keadaan alam Sumedang. Mereka memahami alam dan menjadi bagian kehidupannya.
Selama dua hari berkeliling, sebagai orang awam, saya hanya melihat hamparan sungai yang membentang, hutan-hutan yang berkelompok menyimpan varian tumbuhan dan hewan. Seumpama gambaran bahwa di surga mengalir sungai-sungai, buah-buahan tinggal memetik, manisnya gula dengan bertebarannya pohon aren, maka mengapa surga dunia ini akan ditenggelamkan?
Sepanjang perjalanan, kami melihat sawah hijau yang menghampar, melewati hutan yang menyimpan pohon-pohon besar, anak-anak sungai yang bermata air mengalir melintasi sawah dan bukit, menuju Sungai Cimanuk. Sungai Cimanuk sendiri deras aliran airnya dan keruh. Hal ini menunjukkan adanya penggerusan tanah ke aliran sungai dan tidak adanya pohon-pohon sebagai pencegah erosi di saat hujan.
Bercermin dari perjalanan tersebut, ketika kita merasa bagian dari kehidupan alam dengan menjaga dan memeliharanya, maka alam pun akan menjaga kita. Ketika pohon-pohon di hutan ditebangi, mata air pun berhenti.