Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menggunakan alumunium. Barang yang saya ingat dari alumunium adalah peralatan rumahtangga seperti peralatan dapur. Alumunium bukan hanya untuk kebutuhan rumahtangga, tetapi juga untuk kebutuhan industri, dan pengantar listrik.
Ada banyak manfaat alumunium yang kita gunakan sehari-hari. Saya tahu alumunium, hanya alumunium, ternyata alumunium itu berasal dari Bauksit Indonesia. Sebagai orang awam, saya tidak begitu mengenal Bauksit. Setelah saya telusuri, ternyata campuran senyawa kimia yang mengandung oksida alumunium mohohidrat atau trihidrat. Bauksit terjadi sebagai akibat adanya pelapukan dari material yang mengandung alumina. Istilah Bauksit sendiri pertama kali muncul ketika ditemukannya mineral ini pada tahun 1821 di Les baux, maka penamaannya adalah bauxite atau bauksit.
Pembentukan biji bauksit ini biasanya terjadi di daerah tropis dan subtropics, karena daerah tersebut mendukung adanya proses pelapukan. Bauksit sering ditemukan dalam lapisan datar dan tidak terlalu dalam. Di Indonesia sendiri, biji Bauksit diketemukan di daerah Pulau Bintan dan sekitarnya, Pulau Bangka dan Kalimantan Barat.
Alumunium yang saya gunakan tidak lepas dari peran industri Bauksit, yang mengolah biji Bauksit menjadi alumunium. Beberapa minggu lalu, tepatnya Senin, 25 Mei 2015, saya menghadiri Seminar Nasional Bauksit yang diadakan oleh Kompasiana di Hotel Peninsula, Tema yang diusung pada seminar tersebut, “Harapan serta Tantangan Industri Bauksit dan Smelter Alumina.” Seminar ini menghadirkan enam narasumber, yaitu Ir. Simon F. Sembiring sebagai mantan Dirjen Minerba, Pengamat Pertambangan Mineral dan Batubara; Prof. Dr. Ing. Bambang Suharno sebagai pakar Metalurgi UI; Faisal Basri sebagai pakar Ekonomi; Erry Sofyan sebagai Ketua Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia; dan Andri Budhiman Firmanto sebagai Kepala Seksi Usaha Operasi Produksi Mineral ESDM.
Menarik ketika menyimak para pembicara memaparkan ide dan pemikirannya mengenai industri Bauksit dan smelter alumina Indonesia.
Pembicara pertama, Ir. Simon F. Sembiring sebagai mantan Dirjen Minerba, Pengamat Pertambangan Mineral dan Batubara sangat berapi-api dalam memaparkan kondisi industri Bauksit Indonesia dan keterbenturan peraturan pemerintah. Kebijakan pemerintah yang membuat bingung para industri Bauksit.
Tetapi Andri Budhiman Firmanto sebagai Kepala Seksi Usaha Operasi Produksi Mineral ESDM menjelaskan bahwa peraturan pemerintah sudah melalui proses pengkajian yang mendalam.
Prof. Dr. Ing. Bambang Suharno sebagai pakar Metalurgi UI memaparkan bahwa selama ini kita mengenal hilirnya Bauksit berupa alumunium dan pemanfaatannya, adapun proses dari hulu ke hilirnya tidak banyak yang memerhatikan. Bambang Suharno pun memaparkan kajian ilmiah Bauksit menjadi alumunium.
Adapun Faisal Basri menyoroti keganjilan kebijakan peraturan pelarangan ekspor Bauksit. Freeport dan Newmont bisa mengekspor hasil tambangnya, sedangkan perusahaan pemegang IUP bauksit gigit jari. Walaupun mereka sudah merencanakan matang pembangunan smelter dan sekarang kemajuannya sudah hampir 50 persen, pengusaha bauksit tetap dilarang mengekspor sehingga produksinya pun terhenti.
Erry Sofyan pun menekankan bahwa industri Bauksit dan smelter alumunia membutuhkan dukungan dana dalam pengolahan mineral dari hulu sampai ke hilir. Industri hulu dan hilirasi Bauksit hendaknya diperhatikan oleh pemerintah, karena industri ini akan memberikan manfaat yang lebih besar bagi penerimaan negara, penyerapan tenaga kerja dan kesejahteraan masyarakat, terutama di sekitar lokasi pertambangan atau smelter pada saat ini dan terus berkelanjutan.
Demikianlah, dalam membangun masyarakat yang sejahtera, dibutuhkan pemimpin atau pemerintahan yang adil dan bijaksana. Semoga para pengusaha industri Bauksit dan smelter alumina Indonesia tetap semangat dalam perjuangannya. Tantangan yang membentang bisa menjadi harapan dan peluang untuk terus memajukan industri Bauksit dan smelter alumina Indonesia.