Mohon tunggu...
Y Rosandi
Y Rosandi Mohon Tunggu... -

let's make the world a bit better

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Meninjau Mekanisme Telinga

19 April 2010   11:51 Diperbarui: 4 April 2017   17:12 5437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendengaran adalah salah satu indra yang terpenting. Telinga, organ pendengaran, dapat mendeteksi secara full 3D (baca: tiga dimensi penuh) suara-suara dari lingkungan sekitar kita. Dibanding dengan mata, ini adalah sebuah kelebihan tersendiri. Mata hanya bisa melihat apa-apa yang didepan, sedangkan telinga dapat mendeteksi semua suara dari segala arah. Telinga dapat mendeteksi posisi depan, belakang kiri, kanan, atas dan bawah secara sempurna. Selain itu ia juga dapat membedakan suara yang berasal dari objek yang dekat dan jauh. Sungguh ajaib! Pada dasarnya, telinga dan mata sama-sama mendeteksi gelombang yang menjalar dalam ruang. Gelombang dalam kajian ini berarti penjalaran energy dalam ruang. Gelombang bersifat periodik. Efeknya berubah-ubah terhadap waktu, dan berulang dengan efek yang (hampir) sama pada periode berikutnya. Jarak antara titik-titik yang memiliki efek identik disebut dengan panjang gelombang. Besaran yang digunakan untuk mengukur gelombang adalah frekuensi, yang dapat dilihat sebagai ukuran besarnya energy per satuan waktu yang melewati satu titik dalam ruang. [caption id="" align="alignright" width="182" caption="Plakat Max Plank di Univeritas Humboldt, Berlin. (di gedung ini pernah mengajar Max Plank, penemu besaran kuantum h) "][/caption] Tidaklah sulit untuk memahami konsep gelombang ini. Ambilah contoh tradisi mudik yang akrab dengan kehidupan kita di Indonesia. Gelombang mudik memiliki periode tahunan, ia berulang setiap tahun, tepatnya pada hari iedul-fitri. Jadi frekuensi mudik adalah satu tahun sekali. Hubungan frekuensi dengan energi disini dapat dilihat dengan jelas; satu kali mudik seseorang harus membawa bekal dan ongkos yang cukup, katakanlah lima juta rupiah. Bayangkan jika dia harus meningkatkan frekuensi mudik menjadi dua kali dalam setahun. Maka bekal yang ia miliki harus dua kali, menjadi sekitar sepuluh juta rupiah. Max Plank, adalah orang yang pertama menghitung ongkos mudik yang harus dikeluarkan oleh satuan gelombang khusus yang dikenal dengan gelombang elektro-magnetik. Besaran ini dikenal dengan nama konstanta Plank, yaitu h=6.626×10-34 Joule bagi satu paket gelombang yang mudik tiap detik (Joule adalah satuan energy). Kita mengenal istilah spektrum frekuensi gelombang, yang merupakan rentang yang lebar dari semua frekuensi gelombang yang ada di alam. Spektrum ini terbentang dari gelombang frekuensi rendah (VLF=very low frequency) hingga sinar-sinar gelombang pendek (sinar X, sinar gamma). Kembali lagi ke topik semula, dilihat dari sisi ini, telinga memiliki fungsi yang sama dengan mata, yaitu mendeteksi atau merasakan pengaruh gelombang. Hanya keduanya memiliki spektrum frekuensi yang berbeda. Telinga meraba pada daerah frekuensi suara, sekitar 20 hingga 20 kilo Hertz, sedangkan mata pada frekuensi cahaya tampak, sekitar 400 hingga 800 tera Hertz. Hertz adalah satuan frekuensi, sebesar satu siklus per detik.  (dibaca dengan e seperti pada kata bebek, disingkat Hz) Walaupun demikian, telinga memiliki struktur yang jauh lebih sederhana dari mata. Dengan rentang frekuensi (lebar pita frekuensi, bandwidth) yang kecil, sekitar 20 kHz , ia memerlukan hanya satu sistem pendeteksi. Bandingkan dengan mata yang memiliki lebar pita sekitar 400 THz, (T, tera =1012 ). [caption id="" align="alignleft" width="322" caption="Diagram telinga (www.vestibular.org)"][/caption] Telinga memiliki tiga bagian, telinga luar, tengah, dan dalam. Di bagian luar, mekanisme kerjanya dapat dijelaskan dengan akustik, yaitu ilmu yang mempelajari penjalaran gelombang suara. Telinga bagian tengah memiliki prinsip mekanik, sedangkan bagian dalam menggunakan prinsip penjalaran gelombang dalam zat cair (fluida). Bagian luar berperan dalam mengumpulkan gelombang tekanan udara (gas), bagian tengah melakukan kopel (coupling) atau antar-muka energy dari medium gas ke zat cair, dan bagian dalam melakukan konversi frekuensi-frekuensi yang diterima menjadi arus listrik, yang dikirimkan ke otak. Prinsip kerja pendengaran yang sebagian dapat dijelaskan melalui akustik dari telinga,  sungguh menakjubkan. Daun telinga bertindak sebagai pengumpul sinyal suara, bagaikan antena parabola. Selain itu efek akustik dari bentuknya juga berperan dalam menentukan arah datang suara. Persepsi arah kiri dan kanan ditentukan dari perbedaan waktu datang sinyal suara ke telinga kiri dan kanan. Jadi, bukan dari keras atau lemahnya suara yang diterima kedua telinga. Perbedaan waktu ini dikenal dengan istilah fasa gelombang. Namun demikian prinsip kerja yang kompleks untuk menentukan suara datang dari atas, bawah, depan dan belakang dilakukan oleh daun telinga masih agak misteri. Saya belum menemukan literatur yang lengkap menjelaskan mekanisme ini. [caption id="" align="alignleft" width="155" caption="Tarian lombok yang menggunakan gendang. Gendang (genderang) ditutupi kedua ujungnya dengan kulit. Jika salah satu ujungnya ditutup oleh kayu, maka suaranya tidak akan keras. http://www.freewebs.com/citrasasakdance"][/caption] Lubang telinga memiliki peranan menyaring frekuensi yang diterima. Kedalaman lubang, kira-kira 2.5 cm, berfungsi untuk memilih daerah frekuensi yang bisa terdengar jelas. Mirip dengan fungsi seruling. Dimensi lubang telinga didesain untuk mendengar dengan baik daerah frekuensi suara bicara (speech), yakni sekitar 3 kHz. Dengan laju rambat gelombang suara di udara sekitar 340 m/s, jarak 2.5 cm berada sekitar seperempat panjang gelombang suara bicara, yang memungkinkan genderang telinga untuk turut bergetar (resonansi) dengan baik ketika mendengarkan orang lain bicara. Untuk memudahkan, coba bayangkan senar gitar yang dipetik. Karena ujung-ujungnya terikat, maka bagian senar yang berayun kuat adalah bagian tengahnya. Jauhnya ekskursi ayunan disebut amplitudo, yaitu besarnya simpangan dari gelombang diamati pada satu titik. Jika diukur dari ujungnya, maka posisi tengah adalah seperempat panjang gelombang, jika jarak antara ujung-ujung yang terikat adalah setengah panjang gelombang (ini dikenal dengan harmoni pertama dari getaran string). Telinga bagian tengah adalah sebuah rongga udara, yang memiliki ventilasi melalui mulut. Dengan ventilasi ini tekanan dalam rongga disamakan dengan tekanan udara. Ketika tekanan dalam rongga berbeda dengan udara sekitar, misalnya pada saat naik kendaraan, maka harus disamakan lagi dengan jalan menelan, atau membuka mulut lebar-lebar. Perbedaan tekanan dalam rongga menyebabkan gendang telinga kurang peka, karena amplitudo getarannya mengecil. Sama dengan sebuah genderang yang ujungnya disumpal. [caption id="attachment_122010" align="alignright" width="300" caption="Jungkat-jungkit."][/caption] Perangkat yang terpenting di bagian ini adalah tiga buah tulang yang berfungsi untuk menyampaikan energi getaran dari gendang telinga kedalam pipa berbelit, berbentuk rumah siput, yang berisi cairan. Tulang ini diberi nama sesuai fungsinya, yaitu; hammer (palu, malleus), anvil (bantalan, incus), dan stirrup (timblis, stapes). Karena saya bukan biologist, mungkin nama yang dipakai tidak tepat, paling tidak nama-nama tersebut sesuai dengan fungsinya.  Hammer dan anvil kurang lebih memiliki arti yang jelas. Stirrup atau timblis adalah alat yang biasa digunakan  untuk menekan tanah supaya rata. Dan begitu pula fungsi tulang ini dalam telinga. Selanjutnya saya panggil saja tulang ini dengan nama aslinya: stirrup, karena nama yang saya pilih dalam bahasa indonesia tidak begitu meyakinkan. Tulang palu, digetarkan oleh membran gendang telinga yang kemudian menggerakkan bantalan. Bantalan ini mendorong stirrup yang ujungnya menekan jendela berbentuk oval pada rumah siput, yang disebut cochlea. Prinsip kerjanya bisa dibandingkan dengan permainan jungkat-jungkit, dengan dua lengan berbeda panjang. Lengan yang panjang lebih ringan digerakkan sehingga memerlukan gaya sedikit, tapi memiliki simpangan yang besar. Ketika lengan ini digerakan, maka lengan yang lebih pendek ikut juga bergerak. Karena pendek, ia memiliki gaya yang lebih besar pada ujungnya, tetapi simpangan yang kecil. Ketika bergerak jungkat-jungkit, kedua lengan selalu memiliki frekuensi gerakan yang sama. Kondisi ini sangat cocok, karena udara memiliki kerapatan rendah sehingga membran lebih bebas bergerak, sedangkan cairan dalam rumah siput memiliki kerapatan tinggi sehingga gerakan kecil dan kuat lebih dibutuhkan. Dengan cara ini frekuensi yang diterima gendang telinga dikirim ke bagian telinga dalam, yaitu rumah siput atau cochlea. Ketika suara yang didengar terlalu keras, tulang bantalan berfungsi pula sebagai peredam, sehingga amplitudo yang diterima jendela oval tidak terlalu besar. [caption id="" align="alignright" width="240" caption="Sawah"][/caption] Pertanyaan yang timbul sekarang adalah: mengapa getaran gendang telinga akibat gelombang dalam udara harus diubah menjadi gelombang dalam zat cair? Seperti kita tahu, zat cair memiliki kerapatan jauh lebih tinggi dari gas. Coba bandingkan gerak padi disawah akibat tiupan angin sepoy-sepoy dengan gerak rumput atau ganggang yang tumbuh didalam air. Gangguan terhadap air yang kecil saja sudah cukup untuk membuat rumput ikut bergoyang mengikuti gelombang air. Didalam rumah siput terdapat dua rongga terhubung yang membentuk gelung kira-kira dua setengah putaran. Kedua rongga dipisahkan oleh sebuah membran yang disebut membran basilar. Rongga pertama bermula dari jendela oval, tempat stirrup menekan-nekan zat cair, hingga ujung gelung yang disebut apex. Rongga kedua mulai dari ujung gelung berakhir di jendela bundar. Di ujung gelung kedua rongga ini tersambung. [caption id="" align="alignleft" width="410" caption="Cochlea sebagai alat analisa frekuensi (http://www.britannica.com/EBchecked/topic/288499/inner-ear/3522/Hearing#toc=toc3522)"]

cochlea
cochlea
[/caption] Ketika stirrup bergetar, gelombang akan dipantul balik oleh jendela bundar, sehingga gabungan (superposisi) dari gelombang datang dan pantul membentuk gelombang berdiri (standing wave). Frekuensi yang berbeda akan membentuk gelombang berdiri pada posisi yang berbeda pula. Superposisi ini membentuk daerah padat (tekanan tinggi, compression) dan jarang (tekanan rendah, rarefaction) dalam cairan. Pada membran basilar terdapat rambut-rambut halus sensorik yang dapat merasakan kondisi dalam zat cair akibat gelombang berdiri ini. Posisi dari rambut-rambut yang teraktifkan adalah cerminan dari frekuensi suara yang diterima. Sinyal inilah yang kemudian disampaikan ke otak untuk diproses menjadi persepsi suara. Konon, rambut-rambut ini banyak bertanggung jawab pada penyakit melemahnya fungsi pendengaran, karena usia tua misalnya. Bahasan ini hanya mengupas singkat mekanisme fisis dari pendengaran, akan tetapi mekanisme detail masih menjadi pertanyaan terbuka yang menarik. Belum semua aspek diketahui secara rinci, misalnya bagaimana rambut sensorik menerima sinyal, apakah pengaruh kadar ion dalam cairan, dll, masih merupakan rahasia. Mudah-mudahan satu saat nanti ada peneliti Indonesia yang bisa mengungkap rahasia ini lebih lengkap.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun