Keduanya menjadi obyek pembicaraan banyak kalangan dengan pernyataan/perkataan mereka yang dinilai beberapa kalangan tidak layak diucapkan. Saya tidak ingin mengkomentari pantas atau tidak pantas, benar atau salahnya perkataan mereka di media. Karena ukuran pantas dan tidak pantas, benar dan salah relatif adanya. Saya ingin menyoroti respon masyarakat terhadap kedua peristiwa tadi.
Masyarakat, dibantu dengan canggihnya media, menyibukkan diri menganalisa dan mendiskusikan cara penyampaian pendapat dari kedua tokoh tadi. Pada kasus pak Thomas, banyak kalangan menyindir dan mengecam sikap arogan terhadap suatu organisasi agama. Sedangkan pada kasus pak Wim, media menggebu-gebu memberitakan perkataan "cuci tangan" dan makian kepada pemain timnas Indonesia.
Namun, hanya segelintir orang yang memilih untuk menganalisa substansi peristiwa tersebut. Mereka tidak lupa untuk kembali ke perpustakaan mencari buku, duduk di depan komputer dan mengetik kata kunci astronomi di mesin pencari, bertanya kepada ahli astronomi. Kesemuanya bertujuan untuk belajar terlebih dahulu sebelum ikut beramai-ramai mengecam atau mendukung. Hasilnya adalah segelintir orang itu jadi lebih paham tentang indahnya astronomi, tentang hukum Islam, dan tentang pentingnya ilmu pengetahuan.
Dan di kasus pak Wim, masyarakat lupa bahwa permainan timnas Indonesia tidak istimewa. Bagi yang melihat pertandingan timnas melawan Iran dan Bahrain (apalagi melawan Bahrain), pemain timnas belum menunjukkan kualitas yang terbaik yang mereka punya. Mereka sering salah posisi, salah umpan, dan stamina yang terlihat sangat kelelahan. Masyarakat harusnya sibuk mencari tahu kenapa mereka bisa seperti itu, kenapa strategi atau taktik yang dimainkan seperti itu, tidak strategi yang lain. Strategi bermain bola sangat dinamis. Pelatih punya banyak kemungkinan memainkan strategi menghadapi tim yang lebih lemah, lebih kuat, atau yang sepadan kekuatannya. Strategi juga dipengaruhi pertandingan kandang atau tandang, turnamen yang diikuti (apakah sistem gugur atau sistem kompetisi). Dan masih banyak lagi variabel lainnya.
Dalam waktu yang tidak jauh berselang, masyarakat sudah melakukan setidaknya 2 kali blunder. Mereka yang melakukan kesalahan ini tidak terbatas pada tingkat pendidikan, atau umur. Mari kita kembali kepada substansi dan sesuatu yang terukur. Dan jangan pernah percaya 100% dengan media.
trims
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H