Mohon tunggu...
Yoyon Supriyono
Yoyon Supriyono Mohon Tunggu... Guru - Kuli kapur

Tinggalkan jejak dengan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tabung Oksigen Terakhir

10 Juli 2021   10:06 Diperbarui: 10 Juli 2021   10:49 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

       Malam sudah semakin larut, tapi aku harus terus melajukan sepeda motorku. Dari satu apotik ke apotik lainnya. Hampir semua pelayan bilang, " Maaf Pak, habis!" Bayangan kondisi ayah tak bisa lepas dari mataku. Hanya demi ayahlah yang mendorong raga ini untuk terus mencari dan mencari. Dingin malam aku sudah tak lagi peduli. 

      Aku putar balik sepeda motorku. Kupacu lagi menuju apotik yang pertama. Walaupun harus lama mengantri, setidaknya masih ada harapan untuk mendapatkannya. Mudah-mudahan antriannya sudah mulai berkurang. Begitu harapku sepanjang jalan menuju apotik pertama, yang sempat kutinggalkan karena antriannya panjang.

      Kenyataan berkata lain. Sesampai di sana, kudapati antriannya justru bertambah panjang. Tapi apa boleh buat. Cuma ini harapan ayah. Ya Allah, semoga ayah mampu bertahan. Berilah ia kekuatan. Doa ini terasa semakin menyesakkan dadaku.

      Kucoba menghibur diri dengan menyapa pengantri di depanku. Ada kabar yang menghibur, bahwa stoknya masih banyak. Alhamdulillah. Dadaku terasa lega walau hatiku terus menghimpitnya dengan doa-doa sebisaku.

      Satu demi satu pembeli keluar dari apotik dengan bergegas. Seakan semua sedang berpacu dengan waktu. Berburu harapan yang tergantung pada dinding angan yang setia menyisakan kesempatan.

      Tiba-tiba terdengar petugas apotik menyampaikan pesan bahwa tinggal lima buah lagi tersisa. Aku reflek menghitung sisa antrian. Pas. Aku berdiri di urutan kelima. Terdengar nada kecewa dari pengantri di belakangku. Salah seorang memohon kepadaku agar memberikan antrianku padanya. Tentu saja aku tak bisa memberikannya. 

      Tibalah giliranku. Namun, ketika hendak membayar tiba-tiba ponselku berdering. Kulihat di layar. Ibu menelfon.

     "Nak, lupakan saja tabung oksigen itu. Ayah sudah tidak membutuhkannya lagi. Ia sudah pergi, ia sudah tiada ...," suara ibuku terdengar bagai petir yang menyambar.  Aku terduduk lunglai. Ragaku seperti melepas tulang- tulang penopangnya. Aku merasa lemas tak bertenaga. Seribu kunang yang datang tak mampu menjaga sadarku. Pandanganku gelap. Aku tak ingat apa-apa lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun