Apakah kita masih memupuk sikap kepedulian dalam diri kita di tengah kehidupan yang serba praktis dewasa ini?, di tengah arus gelombang kehidupan yang serba praktis ini masih adakah sedikit rasa peduli kita?
Kehidupan kita dewasa ini bergerak menjadi kehidupan masyarakat yang serba praktis dan instan dalam keseharian. Ambil contoh mudah kalau kita jalan-jalan ke Mall akan sangat banyak kita jumpai bermacam bagai produk instan yang siap saji mulai dari nasi goreng sampai ke bermacam atribut lain yang berbau instan tersebar diseantero kehidupan kita sampai kepada pelayanan sex instan juga ada. Bukan hanya itu sekarang wabah instan telah merasuki relung-relung dunia hiburan kita ambil contoh kontes-kontes penyanyi (dangdut dadakan, mama mia, idol-idolan, dll) dengan cara poling sms adalah salah satu contoh keinstanan ini, hasilnya cukup efktip menarik ribuan orang yang bercita-cita menjadi artis secara instan.
Hal yang serba instan kayak gini tentu bukan sebuah kesalahan dan bukan sesuatu yang salah apa lagi kalau kita kaitkan dengan produk-produk instan tersebut akan sangat membantu bagi kita yang cukup sibuk dalam hari-hari sehingga tidak mempunyai waktu banyak untuk berada di dapur. Namun hal instan ini akan menjadi laten kalau kebiasaan serba instan ini di terapkan dalam kehidupan dengan cara salah tempat.
Sebagai contoh penerapan kehidupan instan yang salah tempat kita ambil pemberitaan di media dewasa ini ada berita tentang kasus seorang petugas pajak yang menggelapkan pajak sampai milyaran rupiah, kenapa hal ini terjadi?, saya rasa ini semua karena keinginan kaya secara instan maka jalan mendaki seperti itu di lakoni.
Nah, coba kita bayangkan seandainya penerapan instan yang salah seperti ini dilakukan oleh seseorang yang ingin menjadi sastrawan, tentu akan menjadi sebuah hal yang memalukan wajah kebudayaan kita karena dapat di pastikan jalan yang dia pilih adalah plagiator, Jalan cepat tanpa menempuh proses panjang sebuah penempahan untuk jadi dan menjadi.
Kehidupan serba praktis seperti ini juga bukan hanya terjadi dan mendera kaum elite kita saja tapi juga telah menyentuh kehidupan sampai keakar rumput. Jika saja kita coba untuk sedikit peka akan kita dapati disekitar kita yang lebih muda di biskota dan dilampu merah akan kita temui segerombolan anak kecil berkerumun disitu, mereka bukan sedang main tapi mereka sedang mencari uang dengan cara yang mereka bisa (ngamen/ngemis), pertanyaannya kenapa hal ini terjadi?
Hal ini terjadi karena keinginan instan dan praktis dari orang tua merekaq untuk memberdayakan mereka menjadi mesin uang. Jika hal ini di biarkan berlarut-larut tentu akan semakin memprihatinkan kehidupan masa kecil yang seharusnya bisa mereka habiskan untuk main-main akhirnya tergerus oleh keingina instan orang tua mereka yang memberdayakan ereka untuk mencari uang. Apabila hal ini berlanjut tidak menutup kemungkinan hal serupa akan mereka lakukan juga terhadap anak mereka jika mereka berkeluarga kelak.
Mewabahnya kehidupan serba instan ini tentu menjadi tugas dari kita semua untuk sama-sama merenungkan jalan keluar semua ini agar prilaku instan hanya berada dii jalur yang sewajarnya dan memang memerlukan keinstanan itu, dan instan tidak menjadi laten dalam kehidupan kita namun dengan adanya sesuatu yang serba instan sewajarnya bisa menjadi sebuah dinamika yang positip untuk menciptakan keadaan yang kondusif untuk menjadi sebuah ruang penciptaan kita.
Akhirnya sebagai penutup mari kita sama-sama memikirkan ini agar instan ini tidak berada ditempat yang salah, akhirnya saya coba kita renungkan bersama bagaimana kalau tradisi instan ini masuk keistanah negara sehingga menciptakan presiden yang instan tanpa di ketahui track record yang jelas dalam kepemimpinan dan politik, mengerikan…!!!
Salam Takzim
Yoyong Amilin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H