Bulan penuh luka itu adalah Juli 2024, entah aku tidak bisa berkata-kata lagi. Dalam jangka waktu seminggu di pertengahan bulan Juli aku mendapati begitu banyak musibah yang terus-menerus datang bertubi-tubi. Di mulai dari harus kehilangan sesosok yang akan ku nikahi, kehilangan uang, kehilangan salah seorang keluarga untuk selamanya, sampai harus berpindah tempat tinggal.Â
Bulan itu cukup suram walau sejatinya semua sama saja. Namun hal ini cukup bisa meyakinkan diriku, bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini. Walau pikiran kalut, namun aku tetap harus berjalan.Â
Semua yang kuhadapi pada bulan itu serasa mimpi. Semua yang kulakukan di bulan itu serasa bukan diriku. Aku telah melampaui kekuatanku, namun sang maha kuasa tetap memberikan seluruh nikmatNya.Â
Tak salah lagi, masalah yang kuhadapi tersebut adalah sebuah pesan yang sangat kuat. Alih-alih aku bersyukur telah merampungkan buku keduaku, namun aku harus menghadapi hal yang diluar nalarku pada waktu itu.
Bahkan untuk menerima kenyataan bahwa aku kehilangan satu-satunya kendaraan pentingku demi seseorang itu cukup menyakitkan. Kini ketika aku berjalan kaki, naik sepeda, ataupun meminjam motor temanku, begitu banyak perasaan bersalah yang muncul.
Apa guna semua ini, apa guna kepindahanku ini kalau yang kuperjuangkan di kota tersebut tak menghiraukanku. Kata-kata itu selalu terulang-ulang, lagi dan lagi. "Lee dunia tidak selebar daun kelor, fokuslah bekerja nak", kata ibunya. Ahh memang benar itu, namun apa daya diriku saat ini. Kalaupun kehadiranku tak berarti baginya untuk apa juga aku meneruskan ini. Hidup cuma sekali, dan menghabiskan sesuatu hal yang sia-sia ini terasa menyita waktu pikirku.Â
Malam demi malam dengan mimpi buruk aku lewati. Ketidak berdayaan di dalam menghadapi kenyataan ini begitu menganggu keseharianku. Aku terus-menerus meringkuk di dalam kamar. Walau begitu berkali-kali kawan-kawan serta keluargaku terus menghubungiku. Aku ingin percaya masih ada sesuatu yang bisa kulakukan. Aku ingin percaya keberadaanku di Sumatra ini memiliki arti walau perih terasa.Â
Akhirnya aku pulang dengan kehampaan, kekosongan. Bahkan ditengah perjalanan aku harus kehilangan ratusan ribu. Aku kembali tanpa uang. Aku kembali lagi di kotaini. Di kota pelajar yang memelukku erat serta yang mengajarkanku begitu banyak hal. Aku tumbuh besar disini selama sepuluh tahun. Aku kembali lagi disini kawan.
Seiring berjalannya waktu, akupun memahami banyak hal yang terjadi di dunia ini. Tidak ada kata terlambat dan kesalahan kita tak mesti harus kita dalami. Kita harus segera beralih, melakukan suatu hal yang pasti.Â
Aku memulai lagi dari awal, aku menulis lagi. Aku bermusik lagi seperti biasanya. Mencoba mengajarkan tentang kehidupan kepafa anak-anak. Senyum mereka yang polos membuat hari-hariku berwarna.Â
Senyum para kawan-kawanku, maupun orang yang kutemui setiap saat di sekitar tempat tinggalku juga membuat diri ini terasa nyaman. Selamat tinggal Sumatra, selamat datang masa kini. Aku hidup saat ini, bukan di masa lalu, maupun masa mendatang. Karena yang berjalan saat ini adalah sekarang. Dan sekarang aku melakukan sesuatu. Tak apa aku merangkak dulu, yang penting tetap berjalan.