Mohon maafkan hamba apabila terdapat banyak kesalahan selama hidup, namun entah bagaimana cara mengontrol pikiran dan perasaan ini. Sebagai manusia biasa aku sudah terlalu muak untur berbuat apapun yang mengarah kepada kemajuan. Walau ada hasarat ingin menjdi lebih baik, namun pikiran dan perasaanku memberontak terhadapnya. Sebagai orang yang mengggap diriku biasa-biasa saja, aku mendapatkan banyak pukulan dalam kehidupan ini. Aku sekali lagi selalu salah dan salah dalam menyalurkan energi dan semangatku yang begitu besar ini kepada sesuatu yang sia-sia.Aku mengalami konfrontasi selam berbulan-bulan ini. Sebuah gejolak untuk menyelesaikan tanggung jawabku kepada keluarga atau meminang seseorang yang jauh di seberang pulau disana. Segala hal kulakukan dari mulai bekerja tukang parkir, pentol, menulis, mengajar dll. Semua itu kulakukan untuk melancarkan kehidupanku dikemudian hari. Alih-alih aku berjuang tidak tahunya tiada uang yang terkumpul sekalipun, walau dengan biaya hidup yang sangat mepet. Sungguh sangat ironis pikirku, sangat-sangat ironis.Namun nasib tiada yang tahu, bahkan orang terdekatku pun tak tahu akan rahasia ilahi itu. Setelah aku bersusah payah dengan kepindahanku dan kerja apapun di Yogyakarta ini, aku mengalami sebuah peristiwa yang tidak ingin kualami.Sebagai seorang pasangan yang berusaha berkomunikasi dengan baik, kami mengalami banyak cobaan. Namun sebagai laki-laki hal itu tidak sama sekali mengecilkan hatiku, malah membuat diriku bersemangat. Namun disisi lain dia berusaha melepaskanku. Sesungguhnya banyak kata-kata yang ingin kutulis. Namun entah mengapa pikiran dan hatiku merasa sangat-sangat lelah.Singkat saja aku berusaha meghubungi orang tuanya untuk menanyakan perihal kelanjutan kami. Sebagai seorang calon suami sudah semestinya harus memiliki hubungan baik dengan calon mertua. Hal itu sudah kulakukan lama sekali, namun hal itu tak menjamin apapun.Saat itu aku meminta pendapat dengan ayahku, dan ketika ayahku mencoba menghubungi calon ibu mertuaku. Tiada jawaban sama sekali atas kelanjutan. Ayahku agak kesal dan mengatakan kepadaku supaya mengurungkan niatku. Namun dalam seminggu aku tidak bisa tidur memikirkannya, ditambah lagi hubunganku dengannya ada di fase yang tidak baik. Memang sebelumnya calon mertuaku bilang kepadaku untuk segera mundur. Namun aku tidak menyerah dan ingin membuktikannya.Sampai pada akhirnya aku menjual motorku satu-satunya. Aku meminta izin ayahku, dan ia mengatakan bahwa sebagai lelaki apabila ada sesuatu hal yang kurang menyenangkan nantinya, harus berani bertanggung jawab. Aku mengiyakan semuanya it, dengan uang penjualan dan tabunganku kuputuskan untuk pergi ke rumah calon mertuaku di Jambi.Banyak lika-liku yang kualami sebelum aku berangkat kesana, mulai dari menghentikan kontrak belajarku, serta berpamitan kepada kawan-kawanku.lalutiba waktunya untuk berangkat. Di dalam perjalanan menuju kesana sungguh sangat menyiksa batinku, selain karena aku baru pertama kalinya keluar jauh, aku harus bertarung dengan pikiranku dan bersiap-siap dengan kemungkinan terburuknya. Jarak yang jauh, suhu udara yang tidak menentu ditambah overthinking cukup membuatku strees.Sesampainya disana aku menemui kawanku yang dulu sempat sekelas denganku, aku menceritakan perihal semuanya walau sebenarnya ia sudah tahu sebeelumnya karena sudah pernah kuberitahu. Bicara kami terasa intens, kami merencanakan segalanya sebelum kesana. Aku mempersiapkan hadiaku berupa sarung yang sempat kubeli online, serta sisanya nanti aku akan membawa buah-buahan untuk mereka.Aku disini di dalam posisi yang tidak jelas, maka aku ingin memperjelas dan segera mendatangi orang tuanya. Jujur aku orang yang pendiam dan pemalu, bisa dibayangkan bagaimana rasanya melakukan perjalanan jauh, serta mengumpulkan niat dan keberanian itu.Pagi harinya ketika aku menghubungi teman calon istriku ini, ia menyetujui niatku. Lalu segera aku berangkat kesana. Namun sebelum aku meninggalkan tempat temanku, aku dikirim sebuah foto yang memuatku takjub. Yaitu fotonya dengan pria lain, serta ia memposting status tentang seseorang yang memang bukan aku. Aku kaget sekaligus lemas, rasanya kakiku gemetaran hebat. Lalu aku merokok sekali duduk sampai 12 batang itu habis seketika. Kawanku diam dan menenangkanku.Sungguh-sungguh aku tidak percaya apa yang baru saja terjadi, aku berusaha menghubungi teman calon istriku, serta meminta kejelasan tentang hal itu namun ia tak menjawab lagi. Aku yang sebelumnya ingin melakukan kejutan malah aku yang diberi kejutan. Untuk catatan saja, karena hubungan kami yang buruk jadi aku di blokir begitu saja oleh calon istriku.Tiga sampai empat hari aku hanya tidur setengah jam dalam sehari. Aku hanya makan, beribadah dan bengong di depan teras rumah kawanku. Aku tak bisa mengeluarkan air mata, atau menjukkan sebuah emosi apapun. Aku bingung dan terpukul, serta harga diriku hancur.Sebagai lelaki aku pernah disuatu masa memiliki ketidakpedulian terhadap apapun dan berusaha fokus dengan kesuksesanku. Namun ketika ia datang aku menurunkan semua egoku, semuanya. Aku berpikir keras, serta menemukan jawaban bahwa lelaki itu dulu mantan dari calon istriku, ia kembali lagi berhubungan tanpa sepengatahuanku. Ditengah-tengah perjuanganku mengumpulkan uang.Kini aku merasa tak berarti lagi dan hancur sehancur-hancurnya. Pulangpun tak sanggup, membayangkan jauhnya perjalanan membuatku lelah. Namun banyak dari teman-temanku yang menenangkanku. Dalam proses ingin kembali ke Jogja, aku mendapat berita yang kurang menyenangkan. Yakni bibiku yang ikut mengasuhku dulu meninggal karena sakit. Sungguh saat itu air mata turun dengan derasnya, aku merasa sebuah kesedihan yang sangat lengkap. Aku tak bisa menahan air mataku, karena teringat ada kedekatan emosional dengan bibiku dulu. Ia sosok yang sabar dan penyanyang selain orang tuaku.Di dalam proses kesedihan itu, aku diajak kawanku berjalan-jalan entah itu dipusat kota atau di masjid-masjid. Hal ini cukup membuat diriku tenang. Dan aku bertekat untuk pulang ke Jawa.Aku segera berpamitan dengan kawan dan keluarganya. Mereka sungguh sanggat baik mau menampung aku. Sebetulnya aku berniat bekerja disana karena ingin mengganti uang penjualan motorku, namun temanku menyarankanku untuk pulang demi kesehatan jiwa dan pikiranku.Di dalam perjalanan menuju Palembang-Lampung aku kehilangan uangku yang berisi sekitar 600an ribu. Aku binggung dan berencana mencarinya, namun niatku urung ketika kru di bus tersebut menenangkanku. Menurutku mereka hanya malas membantu dan ribet, aku agak kesal namun harus kuterima semuanya.Selama perjalanan itu aku menyimpulkan, dan kehilangan tiga hal yakni lamaranku yang gagal, bibiku yang meninggal, serta kehilnagan dompet beserta isinya.Aslinya cerita ini tidak bisa mewakili semua perasaan yang kurasakan saat itu, karena begitu rumit dan putus asanya aku. Namun ini sudah lumayan. Banyak hal yang ingin disampaikan namun terbatas, banyak hal yang belum kuungkapkan namun hatiku begitu sangat sakit sekali.Kini aku hanya bisa menumpang dikawanku untuk sementara. Walau uang di atm masih banyak namun aku ragu untuk tinggal sendiri. Aku merasa tidak enak sekali, namun sangat tidak aman apabila aku sendiri.Kini kemana-mana aku harus rela jalan kaki, karena kawanku juga bekerja di pagi-malam. Aku mengajar lagi dengan diantar ojek online yang biaya pengeluarannya lebih besar daripada penghasilanku. Sambil menunggu insentif buku yang sudah lama kurampungkan turun aku tetap bersabar dengan perasaan yang kalut. Kesal juga dengan penerbit yang tiada kunjung meurunkan insentifnya dimana aku membutuhkannnya.Ini sangat gila sekali, aku mengorbankan segalanya untuk sebuah kegagalan. Aku effort untuk berani keluar dari kebiasaanku namun tiada rasa hormat sekalipun darinya. Banyak hal yang belum kusampaikan sesungguhnya, namun aku bukan pria yang manis diomongan saja. Aku lebih suka bertindak. Serta realistisnya ketika aku memutuskan untuk tinggal di sebuah daerah yang belum pernah kukenal, aku harus mempersiapkan segalanya terlebih dahulu. Namun di tengah-tengah persiapan itu ia memilih berhubungan dengan pria lain tanpa sepengetahuanku. Aku kehllangan segalanya mulai dari motor, uang, keluarga dll. Entah aku harus bagimana lagi, aku hanya bisa berusaha sebisaku saat ini walau tanpa motor dan pekerjaan yang jelas.Maaf untuk kata-kata yang berantakan. Mungkin juga tanpa teman-teman dan keluarga aku akan tumbang, aku tidak bisa memberikan sebuah arti apa-apa untuk mereka. Mungkin memang aku sudah terbiasa dengan jalan kaki, namun hal ini agak menganggu mobilitasku. Terima kasih semoga mereka yang membuat diriku dan keluargaku sengsara diangkat derajatnya dan diberi kelancaran dalam menjalani hidup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H