Mohon tunggu...
Yowidiyanto
Yowidiyanto Mohon Tunggu... -

Writer. Translator. Tinkerer. Life-long learner.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Penutur Dwibahasa Lebih Besar Kemungkinan Pulih Pasca Stroke

9 Desember 2015   17:07 Diperbarui: 9 Desember 2015   17:25 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Manfaat belajar bahasa lain ternyata tidak hanya terbatas pada terasahnya kemampuan kita untuk bertutur dalam bahasa tersebut, melainkan juga pada hadirnya serangkaian manfaat kognitif tersembunyi yang dapat melindungi otak kita bilamana terjadi terjadi stroke atau demensia, menurut hasil penelitian terbaru.

Para peneliti dari Inggris dan India menghimpun data 608 orang pasien stroke di Hyderabad, India, dan menemukan bahwasanya orang-orang yang mampu bertutur dalam lebih dari satu bahasa memiliki kesempatan lebih besar untuk dapat pulih dari stroke jika dibandingkan dengan mereka yang hanya bertutur dalam satu bahasa/ekabahasa (monolingual).

Prospek pemulihannya pun meningkat drastis — orang-orang yang dapat bertutur dalam dua bahasa/dwibahasa (bilingual) (serta mereka yang dapat bertutur dalam lebih dari dua bahasa) dinyatakan memiliki kemungkinan dua kali lipat lebih besar untuk dapat memiliki fungsi kognitif normal pasca-stroke jika dibandingkan dengan orang-orang ekabahasa, itupun bahkan setelah faktor-faktor lain seperti merokok, tekanan darah tinggi, diabetes, dan usia turut pula diperhitungkan.

Menurut para ilmuwan ini, berbagai tantangan mental yang terus-menerus dihadapi terkait dengan penuturan lebih dari satu bahasa bisa jadi meningkatkan “cognitive reserve” (penggunaan jaringan (network) otak secara optimal dan efisien untuk meningkatkan fungsi otak selama proses penuaan) seseorang, yang berujung pada meningkatnya kemampuan orang tersebut untuk mampu mengatasi situasi saat terjadi kerusakan otak yang diakibatkan oleh peristiwa seperti stroke.

“Kedwibahasaan membuat orang beralih dari satu bahasa ke bahasa lainnya, sehingga, kala orang itu menghalangi penggunaan salah satu bahasa (yang dikuasainya), ia harus mengaktifkan bahasa yang satunya lagi untuk dapat berkomunikasi,” kata co-author penelitian Thomas Bak, seorang peneliti dari University of Edinburgh di Inggris. “Pertukaran ini praktis melatih otak secara terus-menerus, yang mana hal ini mungkin menjadi satu faktor penolong pasien stroke untuk dapat pulih.”

Selain menunjukkan kemungkinan lebih besar akan pulihnya daya pikir mereka pasca-stroke, para penutur dwibahasa — didefinisikan dalam penelitian sebagai orang-orang yang bertutur dalam dua bahasa atau lebih — juga memiliki kinerja lebih baik dalam serangkaian tes pasca-stroke yang mengukur tingkat atensi mereka, sekaligus juga pada uji kemampuan mereka dalam mengambil informasi dan mengatur (organisasi) informasi di otak.

Penting untuk dicatat bahwa hasil pemulihan sangat mengesankan yang ditunjukkan oleh para pasien dalam penelitian itu mungkin terkait dengan, setidaknya sebagian pada karakteristik-karakteristik kebahasaan (lingual) dari wilayah tempat dilakukannya penelitian tersebut. Sebagaimana diamati oleh para ilmuwan dalam makalah ilmiah mereka, yang dipublikasikan dalam publikasi ilmiah Stroke, Hyderabad merupakan sebuah kota multikultural yang menjadi rumah bagi banyak bahasa berbeda, termasuk diantaranya Telugu, Urdu, Hindi, dan Inggris. Dengan demikian, ‘latihan otak’ yang dijalani oleh para penduduk Hyderabad — dan berbagai manfaat yang menjadi bahan teori yang dihasilkan dari sana — kemungkinan tidak dapat direplikasi dengan kaidah pengukuran yang setara di tempat lain.

“Menukar bahasa yang hendak dipakai secara terus-menerus merupakan realitas sehari-hari bagi banyak orang yang tinggal di Hyderabad,” kata Suvarna Alladi, seorang neurolog pada Nizam’s Institute of Medical Sciences (NIMS) di Hyderabad. ”Manfaat kognitifnya mungkin tidak ketara di tempat-tempat dimana kebutuhan untuk menggunakan dua atau lebih bahasa tidak luas (ekstensif) seperti di Hyderabad.”

Meski begitu, untuk dapat secara potensial meningkatkan cognitive reserve yang kita miliki, tidaklah harus kita tinggal di wilayah dimana bertutur dalam banyak bahasa sudah menjadisuatu kelaziman. Penelitian terdahulu pun menunjukkan bahwasanya kedwibahasaan dapat menunda terjadinya amprahan/awal mula serangan (onset) penyakit Alzheimer, akan tetapi, para peneliti menyatakan bahwa mempelajari cara bertutur dalam bahasa lain tidaklah serta-merta dapat dijadikan kunci dalam membantu kita meningkatkan kesempatan untuk pulih dari stroke — walau kemungkinan pulih itu sendiri dapat ditingkatkan dengan menjaga otak tetap aktif sepanjang hayat.

“Penelitian yang kami lakukan menunjukkan bahwa kegiatan-kegiatan stimulasi intelektual yang dilakukan seiring dengan berjalannya waktu, mulai sejak usia muda atau bahkan berawal dari usia paruh-baya, dapat melindungi Anda dari kerusakan (otak) akibat stroke,” kata Subhash Kaul, salah seorang anggota tim di NIMS.

 

Sumber

 

(Tulisan hasil terjemahan ini diterbitkan juga di Medium)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun