Dalam diskusi daring tentang budaya Patriarki di Indonesa ada yang berkata bahwa dalam sistem politik kita saat ini sudah tidak ada lagi yang namanya diskriminasi terhadap perempuan dalam haknya berbangsa dan bernegara.
Sebetulnya banyak pihak yang berpendapat mengenai hal yang serupa. Dimana mereka merasa Indonesia telah mencapai kesetaraan gender bagi seluruh lapisan masyarakatnya baik laki-laki ataupun perempuan. Hal ini menggelitik saya. Memang saya akui negara kita sudah menjamin hak-hak bagi warganya untuk dipandang setara dimata hukum sebagaimana diatur dalam UUD 1945 ayat 27. Indonesia juga sudah meratifikasi CEDAW, Inpres soal pengarus utamaan gender dan lain sebagainya. Namun pada prakteknya di lapangan apakah benar kesetaraan gender tersebut telah tercapai?
Jawabannya mudah saja, silahkan tanyakan ke teman-teman perempuan disekeliling anda, pernah gak sih kalian disepelekan dan dipandang sebelah mata karena kalian perempuan? Masih pernah ga sih di suatu interview pekerjaan kalian ditanya "Kalau kalian menikah nanti kalian bakal resign gak? Kalau punya anak nanti kerjaan bakal ditinggal gak?" atau yang paling sering didengar "kalau kamu kerja nanti anak dirumah gimana?" Lalu tanyakan kepada teman-teman laki-laki, pernahkan kalian mendapat pertanyaan yang serupa? Berikutnya, di Indonesia, jumlah anak-anak perempuan yang putus sekolah masih lebih tinggi dibandingkan dengan anak laki-laki.  Hal ini terjadi karena pola pikir orang tua yang melihat anak perempuannya lebih tidak menguntungkan untuk disekolahkan tinggi-tinggi karena ujung-ujungnya hanya akan dinikahkan. Dan yang perlu juga kita ketahui, di Indonesia hukum yang ada dan penegak hukum yang bertugas menangani kasus kekerasan seksual hampir selalu tidak memiliki perspektif korban dan cenderung menyalahkan korban atas kejadian yang terjadi padanya.  Â
Dari hal-hal diatas kita seharusnya bisa menilai, bahwa sampai detik ini perjuangan perempuan untuk mencapai kesetaraan gender masih sangat panjang.
Saya juga dibilang terlalu subjektif karena berkata bahwa jumlah perempuan yang terlibat dalam pengambilan keputusan berpengaruh atas terciptanya keadaan setara bagi perempuan di Indonesia. Padahal kita ketahui bersama untuk membuat sebuah peraturan, terkadang niat baik saja tidak cukup. Jumlah pun mempengaruhi pencapaian niat baik tersebut. Contohnya saja, Rancangan Undang Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU Pungkas). Niatnya adalah menciptakan suatu payung hukum yang komprehensif dalam melindungi warga negara Indonesia dari kekerasan seksual. Bahkan RUU tersebut mengatur dari pencegahan, penanganan, sampai ke rehabilitasi yang berperspektif pada korban. Intinya RUU ini pro korban. Tapi toh buktinya sejak tahun 2011 RUU tersebut tidak kunjung disahkan.Â
Tidak peduli jumlah kekerasan seksual yang semakin meningkat tiap tahunnya, ataupun status Indonesia yang saat ini sudah Darurat Kekerasan seksual, para pengambil keputusan masih belum juga mengesahkan RUU tersebut. Pasti ada yang berpendapat, tidak disahkannya RUU tersebut karena faktor politik dsb. Tapi coba bayangkan, kalau saja jumlah perempuan yang terlibat dalam pengambilan keputusan tersebut mencapai 50%, apakah hal tersebut tidak akan mempengaruhi lahirnya keputusan yang pro perempuan ?
Memang secara kasat mata di Indonesa, perempuan seakan-akan sudah memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki. Namun pada prakteknya perempuan masih menemui berbagai ganjalan dalam mengejar posisinya dalam bermasyarakat. Masih sangat banyak stigma-stigma dan "kodrat" yang disematkan kepada perempuan dalam mengambil keputusan atas hidupnya sendiri. Hal ini membuktikan bahwa kesetaraan gender masih sangat perlu untuk diperjuangkan. Salah satunya adalah dengan melibatkan perempuan dalam proses pengambilan keputusan. Baik itu didalam rumahnya, di lingkungan kerjanya, dalam mengejar mimpinya dan dalam masyarakat.Â
Dan satu hal lagi yang perlu selalu diingatkan, gerakan feminisme bukanlah gerakan membenci laki-laki. Feminisme mencita-citakan terciptanya kesetaraan baik bagi perempuan maupun laki-laki. Kesetaraan yang tidak akan tercipta kalau didalamnya kita sendiri masih tidak menyadari kondisi tidak setara yang sampai saat ini hidup dan berkembang dalam masyarakat kita. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H