Sekumpulan manusia yang sedikit aneh bagi beberapa orang, sedang berjuang atau mengadu nasibnya di perempatan jalan, atau keliling dengan kaki yang tak mungil dan gayanya bak peragawati. Tanpa malu dan takut, mereka menggeluti itu dengan tekun, walau kadang penuh cacian dan bahan tertawa. Sakit, tapi tak berdarah. Menahan panasnya matahari dan lelah berjalan saja sudah susah, ditambah menahan cercaan dari manusia yang hanya melihat luarnya, tanpa melihat isi dari hatinya.
Menulis, mereka tak mampu, tapi memberi warna berbeda, mereka ahlinya. Luar biasa, siapa mereka? Siapa yang didampingi dan siapa yang mendampingi? Kalau Tuhan melukis dunia, tapi mereka melukis bendera dalam sebuah isu. Bendera apa? Bukan bendera merah putih tentunya. Bendera komunitas transpuan, di Yogyakarta khususnya. Mereka punya bendera sendiri, tapi masih bagian dari Indonesia, hanya saja berdiri sendiri atas sekumpulan manusia yang mungkin bagi masyarakat, mereka itu aneh.
Tapi menurut saya bukan aneh, tapi unik, karena adanya perbedaan dalam diri mereka. Padahal, negara kita mengakui adanya perbedaan, seperti semboyan Bhinneka Tunggal Ika, yaitu meski berbeda tetapi tetap satu. Untuk itu, kita tetap bersatu, menerima keunikan masing-masing. Mereka tak salah, tapi pikiran manusia lain yang salah, terutama yang memandangnya dari segi negatif.
Mereka sama di hadapan Tuhan, yang beda adalah keyakinan dan tingkat keimanan saja, tapi sama dengan kita, mereka punya hak dan kewajiban yang sama. Di tengah kekacauan yang terjadi pada kaum seperti mereka, tentunya ada komunitas yang membantu atau mendampinginya. Siapa Beliau? Apa nama komunitasnya? Akan kuberitahu.
Kak Pram, seseorang yang pernah kami wawancarai via zoom saat pelatihan jurnalistik di salah satu penerbit dan percetakan di Yogyakarta. Beliau masih membuat kami penasaran, karena saat wawancara, Beliau tidak menunjukkan wajah, hanya dengan suara saja. Kami juga tak bisa membayangkan sosok Beliau ini seperti apa. Apakah murni pria atau transpuan, tapi dari suara Beliau, suara pria.
Beliau adalah salah satu pendamping dari Yayasan Kebaya, yaitu Keluarga Besar Waria Yogyakarta, yang dahulu berlokasi di Badran lalu pindah di Jalan Gowongan Yogyakarta. Kebaya berdiri 18 Desember 2006. Awalnya, tempat itu hanya menampung transpuan, tetapi seiring berjalannya waktu, tempat itu menampung LGBT juga. Untuk manajemen dari Kebaya, sebagian besar adalah transpuan, sisanya, masyarakat hetero dan LGBT.
Kebaya mendapat donor berupa modal, workshop dan pelatihan dari Jerman selama tiga tahun ini. Yayasan Kebaya membawahi Kontes Pondok Pesantren Waria Al Fatah, Seruni, Ikatan Waria Yogyakarta (Iwayo). Tapi donor itu tidak berlaku untuk shelter, di mana shelter mendapat bantuan dari Kemenkes lewat DinSos DIY. Untuk penghuni shelter ada sepuluh orang, karena jika sudah sehat dan mendapat penghasilan sendiri, Beliau harus keluar dan mandiri.
Kebaya membantu para transpuan dalam mencari pekerjaan. Yang baru saja mendapat pekerjaan yaitu tiga orang dan sudah keluar dari shelter. Total keseluruhan sejak awal berdiri sampai saat ini, sudah ratusan orang yang didampingi Kebaya. Di tiap titik, terutama di kabupaten atau kota ada pendamping transpuan. Contoh pendampingan di shelter yaitu psikologis, spiritual, senam, cek kesehatan dan pengawasan pengobatan.
Jika di luar shelter, contoh pendampingan berupa pemberdayaan ekonomi melalui UMKM dan koperasi. Jika mereka butuh modal, Kebaya bisa memberikan modal untuk usaha. Kak Pram dkk berusaha membantu para transpuan dalam mengatasi masalah, tapi masalah internalnya, transpuan itu sendiri yang tak mau dibantu. Kalau untuk masalah eksternalnya, masyarakat belum tentu menerima mereka.