Aku pernah beberapa kali melihat tunanetra yang dituntun saat menyeberang, saat itu aku juga ingin merasakan hal yang sama, membantu menuntun untuk menyeberang. Aku pernah berkata begitu pada ibu.Â
Aku pernah melihat bapak tunanetra penjual sapu yang berjalan di jalan raya sambil membawa dagangannya di atas kepala. Belum pernah aku melihat dagangan beliau dibeli. Aku ingin membeli, tapi sapu di rumah masih ada tiga pcs. Aku batalkan niatku.Â
Beberapa bulan kemudian aku melihat beliau di tempat yang lebih jauh dari kami bertemu sebelumnya. Dagangan beliau berganti kemoceng. Aku sudah punya satu kemoceng di rumah dan satu kemoceng di ruang kerja. Baik, aku berniat membeli satu sebagai stok.Â
Aku mencari di mana beliau berjalan, karena aku melihatnya dari dalam toko. Akhirnya belum jauh, kami bertemu dan aku membeli satu kemoceng itu. Setelah membeli, aku sempat kaget, tiba-tiba bapak memintaku untuk membantu menyeberangkan.Â
Permintaanku akhirnya terkabul, untuk pertama kali. Kata menjadi doa. Aku pikir mudah, ternyata tidak. Aku sudah beberapa kali menuntun orang tua yang jalannya sudah tidak sempurna karena pernah operasi, tapi biasa saja alias mudah. Ini sangat sulit karena bapak tidak berjalan lurus, melainkan miring sehingga aku harus menggeser atau mengarahkan tongkatnya agar lurus.Â
Jalan yang seharusnya sudah hampir dicapai ternyata bertambah jauh karena miring dan membuat lurus lagi. Ternyata begitu rasanya, terlihat mudah ternyata tidak juga. Yang penting aku sudah merasakan bagaimana susahnya beliau.Â
Lebih baik kita yang menuntun tuna netra daripada kita yang dituntun karena sakit. Seperti halnya lebih baik memberi daripada menerima. Lebih baik sehat daripada sakit.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H