Gimana rasanya jika kita tidak dipercaya orang lain? Sakit hati? Kecewa? Marah? Kesal? Atau malah biasa saja? Kalau aku sedih sih, sekian lama bergelut di dunia pekerjaan yang berhubungan dengan pihak luar, baru ini tidak dipercaya.Â
Berawal dari adanya permintaan penawaran harga dari tim kami untuk tanya ke rekanan langganan, guna ingin tahu harga sebagai penawaran harga lagi ke customer kami. Aku lalu tanya kontak rekanan yang selama ini bekerja sama dengan rekanku yang dalam satu ruangan.Â
Kami berhubungan baik dengan rekanan, saat itu. Beliau bertanya apakah ada kelanjutan dengan penawaran harga yang sudah diberikan, lalu kujawab belum ada info. Aku tak bohong, memang sales kami belum ada info dari customer.Â
Lalu ada sales yang minta kontak rekanan tersebut untuk diberikan kepada rekan kami yang sudah pensiun karena sekarang sedang menjalankan usaha yang mirip dengan kami. Aku minta izin ke rekanan untuk memberikan kontaknya pada rekan kami dan Beliau mengiyakan. Mereka komunikasi sendiri, aku pun tak tahu tentang apa.Â
Tiba saat aku diminta tanya hal lain ke rekanan di saat aku cuti. Aku pun menghubungi rekanan lewat pesan karena sedang acara sehingga aku tak bisa menelepon. Dua kali dalam sehari pesanku belum direspon.Â
Hari berikutnya aku diminta follow up karena sudah ditunggu customer. Pesanku masih belum direspon. Lalu atasanku memintaku untuk menelepon rekanan. Aku telepon, tapi tidak mendapat respon yang baik dari rekanan.
Beliau menjawab dengan nada tinggi dan seolah aku salah. Beliau kesal karena penawaran harga dari Beliau tidak aku respon. Padahal saat aku ditanya aku sudah jawab belum ada info.Â
Lalu, bagian mana ya yang salah? Beliau tidak tanya lagi padaku, tapi Beliau ingin mendapat update tanpa tanya lagi kepadaku. Lalu membahas rekan kami yang sudah pensiun yang juga belum pesan, hanya tanya tanpa kelanjutan.Â
Aku menjelaskan bahwa rekan kami sudah pensiun dan tidak tahu masalah apa yang sedang dibahas sebelumnya antara mereka. Beliau masih kesal denganku karena dianggap tanya saja tanpa order, berpikiran bahwa hanya membandingkan harga saja dengan rekanan lain. Padahal aku hanya tanya ke rekanan itu saja yang sudah langganan dan hasilnya memuaskan.Â
Aku cerita lagi bahwa belum ada order. Beliau masih membawa nama teman satu ruangku yang sudah langganan dan bilang bahwa harusnya seperti temanku, selalu pesan. Ya, temanku mengurusi pembelian yang digunakan untuk sendiri alias stok kami. Sedangkan aku pembelian berdasar order customer yang harus memberikan penawaran harga pada mereka dan order belum tentu masuk.Â
Lalu, Beliau bertanya padaku apakah aku benar karyawan yang satu perusahaan dengan temanku itu, kok begini nyatanya. Beliau ragu seakan tak percaya. Aku sudah menjelaskan, sepertinya masih belum percaya. Beliau malah berniat tanya ke rekanku apa aku benar teman satu perusahaan atau tidak. Ya, silakan saja.Â
Sedih sekali aku mendengar begitu. Teman Beliau juga belum berkenan memberikan harga padaku, karena berpikiran sama. Beliau cerita tidak akan membalas pesanku dan tidak cerita begini jika aku tak menelepon. Sekarang aku tahu.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H