Kita memberikan nomor kontak orang yang kita kenal ke orang lain yang meminta, seharusnya kita tanyakan dulu pada yang bersangkutan dengan alasan mengapa kita memberikan nomor tersebut. Boleh atau tidaknya, baru kita lakukan sesuai perintah pemilik nomor tersebut. Seharusnya seperti itu, karena itu privasi mereka. Aku pernah punya pengalaman buruk tentang ini, dua hal.
Pertama, aku pernah memberikan nomor kontak teman wanita sekelasku saat aku dulu sekolah kepada seorang pria, yaitu sahabatku. Aku tak izin dulu, dan teman wanitaku marah padaku, dan sejak itu aku berjanji tak akan mengulangi lagi. Saat itu sahabatku memintaku mengenalkan pada wanita karena belum punya kekasih.
Sampai sekarang aku selalu izin atau info ke orang yang nomor kontaknya akan ku kirimkan pada orang lain. Takut kena marah lagi, seperti aku yang pernah marah karena teman kantorku ada yang memberikan nomor kontakku pada seorang pria tanpa info padaku. Ternyata seperti ini rasanya, aku baru tahu, pantas saja temanku marah.
Kedua, bukan masalah nomor kontak, tapi intinya adalah tanpa izin. Ya, aku pernah menuliskan nama seorang pria di setiap aku membagikan tulisanku, sebagai tanda terima kasih karena telah dibantu, yaitu sering diberi semangat dan diberikan inspirasi dalam menulis. Sebagai ucapan terima kasih, aku menyebutnya di media sosial, selama beberapa kali. Aku tak tahu kalau sebenarnya sudah ada masalah sejak awal aku menyebut namanya, tapi Beliau tak pernah bicara padaku dan aku lanjutkan menyebut namanya.
Beliau memang terkenal pendiam, sehingga belum bisa mengutarakan apa saja masalah yang dialaminya padaku dan pada teman-teman. Awalnya, aku hanya heran, mengapa Beliau belum juga memberikan konfirmasi pertemanan kami di media sosial, padahal sudah beberapa bulan. Akun Beliau diprivat, sehingga pertemanan tidak bisa otomatis. Aku diam, menunggu konfirmasi, tapi aku tak pernah tanya. Kami hanya berteman di dua media sosial, makanya aku berpikir positif, nanti pasti Beliau akan menerimaku sebagai teman. Pernah ku kirimkan sebuah pesan lewat media sosial, tak kunjung dibaca olehnya.
Selama ini, Beliau tak pernah mau ku berikan makanan atau minuman sebagai ucapan terima kasih. Hingga suatu ketika aku tanya saat kami hanya berdua di suatu ruangan, apa yang Beliau suka, akan ku berikan. Beliau tetap diam, tapi nada bicaranya aneh, nggak seperti biasa, seperti orang marah, padahal selama ini tak pernah marah, cenderung diam.Â
Aku tanya pada teman dekatnya tentang apa yang Beliau suka, juga tidak menjawab. Lalu aku membaca sebuah pesan darinya di media sosial, aku seperti tersambar petir, kaget dan hampir menangis. Ada apa? Sebuah perpisahan yang tak pernah ku inginkan. Beliau cerita kalau aku tak boleh memberinya apapun termasuk menyebut namanya di setiap tulisan yang ku bagikan. Karena kekasihnya cemburu dan mereka sempat bertengkar.Â
Aku sudah minta maaf, tapi belum direspon, hanya dibaca. Coba info aku dari awal, nggak akan sampai selarut ini. Kekasihnya cemburu, aku sungguh tak tahu, karena teman-teman meminta aku mendekatinya, yang waktu itu aku sempat tanya Beliau, belum punya pacar. Aku memang sempat merasa aneh, Beliau selalu menghindar, tapi tak pernah cerita.Â
Sejak pesan itu, Beliau menghapus pertemanan kami di media sosial, dan setiap ketemu, Beliau berubah, lebih menghindar dan tak mau menyapa atau senyum, beda dengan dahulu sebelum kejadian itu. Ya, aku salah mengartikan perhatian dan tatapan matanya. Aku berpikir Beliau ada rasa karena dulu teman dekatnya memberitahu padaku bahwa Beliau punya rasa cinta padaku tapi tak berani mengungkapkan dan waktu itu aku sudah punya kekasih, jadi aku abaikan.Â
Karena sekarang aku belum punya kekasih, jadi aku mendekat dan teman lain mendukung, ternyata di balik itu ada rahasia besar yang aku terlambat tahu. Sejak itu, teman-teman tak pernah memintaku untuk dekat dengannya lagi, aku yakin Beliau pasti cerita pada teman-teman tentang ini. Maafkan aku, aku tak akan mengulangi lagi dan ku hapus namanya di tulisan yang pernah ku bagikan.