Mohon tunggu...
Yovita Nurdiana
Yovita Nurdiana Mohon Tunggu... Penulis - Purchasing, pembaca mata dan penulis nama seseorang di setiap tulisannya

Membaca sambil mendengarkan musik favorit

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Desa Zombie, Membawamu Sampai Mati

11 Agustus 2024   09:25 Diperbarui: 11 Agustus 2024   09:28 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi zombie mengancam (sumber gambar : fanpop.com)

Aku sedang mencari seorang pria yang aku sayangi. Ia terjebak di sebuah desa yang penuh dengan zombie. Aku rela melakukan apapun demi bisa menyelamatkan nyawanya, meskipun harus sendirian, karena kakakku, Mahesa, terpisah denganku saat kami menuju rumah itu. Aku tak tahu Kak Mahesa masih hidup atau tidak, begitu juga dengan Dewa, aku tak pernah tahu nasibnya sebelum aku berhasil masuk rumah itu.

Aku berjalan menuju pintu berwarna cokelat tua, mengendap-endap seperti maling. Tiba-tiba seseorang dari belakang menepuk bahuku, aku berbalik. "Kak Mahesa. Aku pikir Kakak sudah..." kataku yang tak selesai sambil memeluk kakakku. Aku sungguh bahagia melihat kakak masih hidup, hanya luka lecet di beberapa tangannya, semoga tak ada luka di bagian lain yang parah yang disembunyikan, aku takut gigitan itu akan membuat kakakku menjadi zombie dan meninggalkan dunia manusia lalu lupa siapa kami.

Karena aku ragu dan khawatir, aku pun bertanya supaya benar-benar lega, "Kak Mahesa nggak papa kan? Nggak ada luka lain selain tangan? Nggak ada gigitan kan? Aman kan?" Kak Mahesa mengangguk sambil memegang pipiku. "Tenang adikku! Aku baik-baik saja kok. Tak ada luka serius atau gigitan, hanya tangan ini yang lecet. Kamu nggak usah khawatir ya!" pinta Kak Mahesa.

Kami masuk sangat pelan. Aku membuka pintu pelan dan memeriksa sekitar, "Aman Kak, pelan saja!" Kakak mengangguk. Tiba-tiba kami diserang dari luar rumah, beberapa zombie menyerbu. Kami hanya berdua, tapi kami harus yakin bisa mengalahkan mereka, saling menjaga satu sama lain. Aku nggak mau pisah sama kakakku lagi, cukup.

Dari arah berlawanan aku melihat Dewa, bersama seorang perempuan di belakangnya menuju kami. Siapa perempuan itu? Orang jahatkah? Atau baik? Atau malah zombie? "Dewa, kamu baik-baik aja kan?" tanyaku sambil memeluknya. "Aku tidak apa-apa Rara," jawabnya sambil melepaskan pelukan. Aku melirik perempuan yang bersama Dewa, "Siapa Wa? Bukan zombie kan?" "Dia Nawa, tadi aku ditolongnya, tapi kakinya terluka, makanya jalannya sangat pelan dan sedikit terseret, mungkin nanti aku harus menggendongnya," jawab Dewa sambil melirik Nawa.

Aku merasa sedikit cemburu atas kedekatan mereka, apalagi, Nawa telah menolong Dewa, aku terlambat. Dan aku masih takut, kalau Nawa adalah zombie yang menyamar manusia. Kak Mahesa mengelus bahuku, berusaha membuatku tenang. Kami keluar mencari tempat singgah yang agak jauh. Di sepanjang jalan aku lebih banyak diam, berbeda dari biasanya. Dewa sibuk sendiri, hingga tak sadar aku diam dan tak pernah mengajakku bicara, sibuk dengan Nawa. Aku pun juga enggan bicara dengan kakakku.

Kakakku dan aku berjalan di belakang Nawa dan Dewa, sambil mengamati dan mendengarkan pembicaraan mereka. Aku selalu berpikir negatif pada Nawa. Oh tidak, aku tidak boleh begitu, Kak Mahesa pernah melarangku berpikir negatif, tiba-tiba aku ingat. Maafkan. Aku harus berubah, menjadi berpikir positif, untung ada Kak Mahesa di sampingku, jadi aku ingat.

Baca juga: Jangan Tengok!

Kami menemukan sebuah rumah, sepi. "Hati-hati Dewa, cek dulu! Takut ada zombie," pinta Kak Mahesa. Dewa berjalan pelan. Kami mengikuti di belakang. Dewa mengetuk pintu perlahan, tak ada jawaban. Ketuk pintu kedua kali, masih tak ada jawaban. Aku mendekat, mengetuk pintu yang ketiga, tiba-tiba pintu terbuka. Aku mundur, Dewa menatapku. Seorang Ibu membuka pintu, "Siapa kalian? Ada perlu apa?"

Dewa mendekat, "Kami butuh bantuan Bu, ada yang terluka, kami hanya butuh istirahat sambil mengobati luka, besok pagi kami akan pergi. Kami butuh tempat sembunyi sementara. Boleh?" Ibu mengangguk, "Silahkan masuk! Maaf, rumah Ibu sempit." "Tidak apa Bu. Yang penting kami dibantu," kataku. Dewa membawa Nawa ke kamar, untuk mengobati luka di kaki Nawa.

Aku mengintip dari balik korden di kamar. Aku cemburu, tapi gimana lagi?  Aku ke dapur, membantu Ibu menyiapkan minuman. Oh iya, namanya Bu Asih, seorang janda yang ditinggal suaminya karena sakit, lima tahun lalu. Beliau banyak cerita padaku, terutama tentang kerinduan pada anak semata wayang, yang sampai saat ini belum kembali, karena tugas luar kota sebagai tentara. Mungkin di minggu ini putranya kembali.

Aku mencari Kak Mahesa, Beliau ada di kamar bersama Nawa, tapi aku tak melihat Dewa. Ada apa? Kok mereka tiba-tiba akur? Aku ingin memanggil Kak Mahesa, tapi takut mengganggu. Mereka membelakangiku. Aku hendak berbalik, tiba-tiba ada suara menyeramkan dari kamar itu. Saat aku berbalik, sebuah tangan memegang bahuku, aku melirik, tangan itu penuh darah. Aku menelan ludah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun