Mohon tunggu...
Yovita Nurdiana
Yovita Nurdiana Mohon Tunggu... Penulis - Purchasing, pembaca mata dan penulis nama seseorang di setiap tulisannya

Membaca sambil mendengarkan musik favorit

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pesolek dan si Biru

17 Juli 2024   12:32 Diperbarui: 17 Juli 2024   12:57 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku tak pernah tahu kapan kau tahu namaku, duhai pemilik ikan biru. Yang aku tahu, kau dulu selalu salah menyebutku. Kacamatamu itu, menambah pesonamu. Bajumu biru saat pertama kita bertemu. Kau tak pernah lelah menjajakan ikanmu berjalan kesana kemari, tanpa kenal lelah. Belum lama kau singgah di kota ini, kota di mana orang-orang merasa nyaman, tapi bagimu bukan karena nyaman, melainkan rasa sayangmu pada sang Ayah yang pernah sakit keras hingga kau bingung kapan harus pulang saat merantau. Dulu, adalah masa jayamu dengan kuliahmu di kampus ternama di kota Surabaya yang menjadi rebutan para manusia. Kini, kau harus mencari pekerjaan tetap dan masih selalu mencari untuk hidup kalian.

Saat bertemu, kau lambaikan tanganmu padaku, menawarkan ikanmu. Oh, aku tak suka ikan hias, aku hanya suka bersolek, hobi dan kini jadi bagian pekerjaanku. Tapi kau sudah bercerita banyak tentang hidupmu. Namanya Arya, seorang pejuang biru, karena dia suka warna biru, ikan yang dia jual pun biru. Sedangkan namaku Rita. Beberapa ikan, ia jual di pedagang ikan hias di sebuah pasar ikan, yang lain ia jual di rumah.

Aku pernah ke rumahnya dan mengikutinya saat di pasar ikan, entah kenapa, aku terharu dengan kerja kerasnya. Ayahnya sudah lanjut usia, mereka hanya hidup berdua. Hingga suatu ketika aku berkunjung ke rumahnya, yang ada hanya ayahnya. "Arya sedang ke pasar membeli sembako, tunggulah Nak, atau mau kau susul? Pasarnya hanya di situ," sambil menunjukkan arah. "Saya tunggu saja Paman," sambil ku letakkan tasku di kursi kayu teras rumahnya. "Mbak ini Mbak Rita bukan? Yang seminggu lalu berkunjung ke sini," kata Paman. Aku mengangguk.

Paman masuk, aku tak tahu apa yang kan beliau lakukan. Tiba-tiba Arya masuk halaman memakai baju merah sambil memberikan senyum kepadaku. Ia meminggirkan sepeda tuanya dan mulai menyapa, "Mbak Rita, mau beli ikan? Atau ada hal lain yang membuatmu sudi singgah di gubug kami?" Aku tersenyum, entah kenapa aku sedang tidak fokus padanya. Hingga Arya membangunkanku dari lamunku. "Maaf Arya, aku sedang melamun," kataku. "Soal apa?" tanyanya. "Kita, aku pengen nawarin kerjaan nih," jawabku. "Oh, kerjaan apa? Siapa tahu aku mampu," tanyanya ingin tahu. "Ikut aku sekarang bisa? Akan ku tunjukkan padamu," ajakku. Ia mengangguk dan masuk untuk memanggil ayahnya. "Paman, saya pinjam Arya ya?" tanyaku sambil mencium tangan Paman. "Pamit ya Pak," sahut Arya. Paman mengangguk.

Kami pun mendekati sepeda motorku, yang sedari tadi ku parkir di dekat pagar berwarna biru. "Arya, kamu yang depan ya?" pintaku. Ia hanya tersenyum. Di jalan, aku tak berani banyak kata, takut memecah konsentrasi Arya. Ia sudah tahu, tempat kerjaku di mana. Sepertinya, kantorku cukup terkenal. "Selamat siang Mbak Rita, cuti kok ke kantor? Bawa laki-laki lagi, pacar atau?" tanya security yang memang sudah cukup akrab denganku. Aku hanya tersenyum. Aku malu. Awas, nanti ku balas jika tidak ada Arya.

"Selamat pagi Pak Arya, kok bisa berdua dengan Mbak Rita?" tanya resepsionis berbaju ungu menyapa kami. "Lho, Mbak Ani kenal dengan Arya?" aku berbalik tanya. "Mbak ini gimana? Siapa pun kenal dengan Pak Arya. Sepertinya hanya mbak yang belum kenal," jawabnya sambil melirik ke arah Arya. Aku bingung, aku masih berdiri di dekat pintu masuk. Tiba-tiba Arya menarikku perlahan. Aku memandangnya, tapi ia tak memandangku. Ia membawaku ke cafe yang ada di kantorku, memesan sebuah minuman hangat dan semangkuk sup untukku.

"Makan dan minum dulu, kau pasti belum makan siang kan?" tanyanya. Aku tambah bingung, Beliau tahu tempat-tempat di kantorku. Sebenarnya, Beliau siapa? Aku menelan ludah. Ku beranikan diri bertanya padanya, "Arya. Eh maksud saya Pak Arya. Ehm, Bapak ini sebenarnya siapa ya? Kok Ani panggil Bapak dan bilang kalau sepertinya hanya saya yang belum kenal Anda?" "Sudah tanyanya? Atau ada lagi? Kenapa nggak minum atau makan dulu? Takut lipstiknya pudar? Atau make up nya hancur karena keringat? Kamu itu cantik Rita, tanpa make up pun cantik. Kamu cantik dari hatimu. Kamu peduli padaku, tapi kau belum tahu siapa aku, selain si miskin penjual ikan biru yang di ada di matamu. Aku ini pemilik dari kantor ini. Tapi aku memang hobi dengan pelihara si ikan biru. Makanya, aku tetap memelihara dan menjualnya. Lumayan kan kalau laku?" katanya panjang lebar padaku agar aku tahu.

Aku menggigit bibirku lalu minum karena sedari tadi menahan haus. Pak Arya menambahkan, "Gimana? Sudah lebih tenang? Sudah lebih baik? Sudah bisa bicara? Kok dari tadi diam? Terpesona sama saya?" Aku pun tertawa. "Lho, kok malah tertawa? Ditanya lho ini. Gimana Rita?" "Ehm, maaf Pak, saya baru tahu sekarang, baru seminggu kerja di sini, malah sok-sok an mau nawarin kerjaan, malah saya yang kena. Belum ada yang ngenalin ke saya soal pemilik kantor, malah saya sudah kenal sendiri. Saya jadi ndak enak," kataku sambil menggerutu. Aku dan Pak Arya sudah kenal sejak aku masih di kantor lama, sekitar tujuh bulan yang lalu, tapi tak pernah sedekat ini.

"Maaf Pak, lalu rumah Paman itu rumah siapa? Tak mungkin rumah Bapak kan?" gurauku sambil melihat matanya yang sayu. Makanya aku beranikan diri bertanya seperti itu. Apa yang membuatnya sedih secara tiba-tiba? "Bapak adalah Bapak angkatku, sedari aku kecil, aku dirawat Beliau, karena orang tua kandungku tinggal di luar kota, di Surabaya, lalu aku pindah di kota ini setelah lulus kuliah karena meneruskan usaha Papaku, dengan membuka anak perusahaan di Solo. Jadi aku sering tinggal di rumah Bapak," jawabnya sambil meneteskan air mata.

Aku memegang bahunya dan larut dalam kesedihannya. "Aku tak apa-apa Rita," kata Pak Arya sembari menunjukkan senyumnya. "Pak, Bapak bisa mampir ke rumah saya setelah menjual ikan hias, bukankah ingin melihat saya saat tidak sedang bersolek? Bapak bisa berkunjung di pagi saat semua orang masih tidur nyenyak, sehingga setelah bangun tidur, saya membuka pintu untuk Bapak dan Bapak akan melihat wajah bangun tidur saya," gurauku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun