Jatuh cinta, terluka, kecewa, itu biasa. Tetapi, bagiku yang seorang pembaca, mengapa bisa melakukan sesuatu yang tidak biasa? Bukan luar biasa, tapi tidak semestinya. Aku pernah tak membaca sebuah petunjuk, waktu aku berkunjung ke toilet yang baru. Sudah jelas ada tulisan mana yang toilet wanita dan mana yang toilet pria, tapi, karena toilet pria itu baru dan terlihat lebih nyaman, aku masuk ke toilet tersebut, bahkan sampai dua kali. Setelah ada yang menyindirku, lalu aku baru sadar aku salah, tak membacanya.
Ternyata tak hanya aku saja, para pria juga salah menggunakan tolilet wanita. Padahal lebih mudah untuk membacanya daripada yang toilet pria. Atau menurut mereka lebih nyaman toilet wanita? Di tempat lain juga begitu, sudah jelas ada tulisan mana yang untuk wanita dan pria, tetapi banyak Bapak yang menggunakan toilet wanita. Padahal waktu itu aku di dekat mereka dan sudah menunjukkannya.
Kasus lain, aku membeli sebuah minuman di warung. Aku memesan teh panas, tetapi sang Ibu memberikanku es teh. Baiklah, ku minum saja. Kasihan, warung itu baru ada satu pembeli. Sebelumnya juga betul, mungkin karena sedang tak fokus saja. Kalau membuat teh panas, rugi juga, walau satu gelas. Beliau juga tak mengulangi sewaktu aku memesan.
Beda dengan pedagang lain, apa karena aku sudah biasa beli ya? Beliau mengulang pesananku yang ternyata salah, untung saja Beliau mengulang. Untuk kesalahan penjual wajar saja, karena kita memesan hanya lisan, tanpa tulisan seperti di tempat lain yang lebih laris agar tak lupa. Tidak apa-apa, kita yang harus menerima jika memang penjual salah, kecuali warung sudah ramai. Tema kisah ini adalah terbalik, tapi bukan dunia terbalik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI