Pernahkah kalian melihat video tentang kebohongan seorang Ibu pada anaknya? Di kala Ibu menyiapkan sebuah piring berisi nasi dan teman makan seadanya, lalu si anak bertanya, "Kok hanya satu piring? Ibu tidak makan?" Lalu jawab si Ibu, "Tidak Nak, Ibu masih kenyang." Atau dijawab, "Ibu sudah makan, makanlah!" Setelah beberapa saat Ibu ke dapur, si anak melihat apa yang dilakukan sang Ibu, bahkan meneteskan air mata melihat Ibu makan dari sisa makanan di dapur Ibu dengan alasan nanti nasinya nangis jika tidak dihabiskan, kasihan. Lalu si anak memeluk Ibu. Apa yang kita rasakan jika seseorang berbohong pada kita? Apakah masih marah atau sakit hati? Sekalipun Ibu kita sendiri demi kebaikan kita? Rela berkorban tak makan enak hanya untuk sang buah hati.Â
Atau pernah kalian temui seorang Ibu yang pernah makan enak lalu anak kecilnya datang mengambil semua makanan Ibu? Lalu Ibu berkata "Habiskan saja Nak, Ibu sudah kenyang, tadi kebanyakan ngambilnya." Jika hanya mendengar cerita tersebut atau hanya melihat lewat video, belum tentu menyentuh hati kita, beda jika kita melihat kejadian itu langsung atau malah kisah kita sendiri.Â
Aku baru kali ini dibohongi oleh seorang Bapak yang tak pernah ku kenal. Tetapi aku tidak marah. Untuk apa? Karena ini alasannya. Sepulang kerja aku temui Bapak yang menjajakan dagangan di seberang penjual makan. Bapak itu terdiam menanti uluran tangan pembeli. Aku tak tahu isi hati si Bapak. Berjalan memindah dagangan dari barat ke timur. Posisi berganti, si Bapak telah bersanding dengan sang penjual makan. Aku mencoba melirik dagangan sambil turun dari kendaraan. Saat aku melihat beberapa camilan itu, Bapak mengucap syukur ada calon pembeli. Baru calon saja sudah bersyukur. Hebat bukan? Karena calon bisa batal.Â
Aku bertanya pada Bapak apakah sudah makan atau belum, mengingat di sebelahnya ada penjual makan. Bapak menjawab, "Sudah". Tetapi ada yang aneh, kata-katanya tak sempurna, ada suatu ketidakyakinan pada suaranya. Aku pun membayar dan Bapak masih mengucap syukur. Lalu aku hendak menyeberang, tak lupa ku tengok si Bapak. Aku terkejut, Bapak mendatangi si penjual makan dan langsung makan dengan lahap seperti belum makan sejak pagi. Apakah aku harus marah dengan pembohong? Tidak perlu. Dalam kasus ini tidak. Apakah kita masih mau mengeluh saat kita menahan lapar? Masih mengeluh saat tak makan enak? Boleh mengeluh tetapi sebentar saja, setelah itu bersyukur karena masih bisa makan, apalagi makan yang enaknya luar biasa.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H