Indonesia tengah berada di persimpangan penting dalam sejarahnya sebagai negara dengan kekayaan alam yang luar biasa. Hutan tropis yang luas, lautan yang kaya akan biota, serta sumber daya mineral yang melimpah menjadikan Indonesia salah satu negara dengan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Namun, ironi terbesar yang kita hadapi adalah bagaimana kekayaan alam tersebut perlahan berubah menjadi ancaman karena eksploitasi yang tidak terkendali. Dalam beberapa dekade terakhir, isu-isu seperti deforestasi, kebakaran hutan, pencemaran lingkungan, dan krisis iklim terus menghantui negeri ini.
Fakta-fakta ini bukan sekadar statistik di atas kertas. Banjir besar yang melumpuhkan ibu kota,
kekeringan yang mengancam ketahanan pangan, hingga kabut asap yang memaksa anak-anak di Kalimantan dan Sumatera libur sekolah adalah realitas pahit yang kita alami setiap tahun. Bukan hanya lingkungan yang menderita manusia juga ikut terdampak. Kesehatan masyarakat memburuk, mata pencaharian hancur, dan kerugian ekonomi terus meningkat. Dalam konteks global, Indonesia berkontribusi signifikan terhadap emisi gas rumah kaca akibat deforestasi, pembakaran lahan, dan ketergantungan pada energi fosil. Di sisi lain, Indonesia juga telah menunjukkan beberapa komitmen penting. Pemerintah mengklaim keberhasilan dalam menurunkan angka deforestasi, meluncurkan
kebijakan moratorium perkebunan sawit, dan menetapkan target net zero emissions pada 2060.
Namun, realitas di lapangan sering kali berbicara lain. Penegakan hukum yang lemah, konflik
kepentingan, serta lemahnya pengawasan menjadi penghambat besar dalam mencapai tujuan tersebut.
Dalam artikel ini, kita akan membedah secara mendalam tantangan-tantangan yang dihadapi
Indonesia dalam melindungi lingkungannya, mulai dari krisis deforestasi, dampak eksploitasi
tambang, hingga isu transisi energi. Selain itu, kita juga akan membahas harapan serta langkah-
langkah konkret yang dapat diambil untuk memastikan bahwa sumber daya alam negeri ini tetap
lestari, tidak hanya untuk kita, tetapi juga untuk generasi mendatang.
❖ Konteks Global dan Lokal
Perubahan iklim bukan hanya isu global, melainkan juga persoalan domestik yang nyata di Indonesia.
Fenomena seperti banjir besar di Jakarta, kekeringan di Jawa Timur, dan kebakaran hutan di
Kalimantan serta Sumatera adalah bukti bahwa dampak krisis lingkungan sudah di depan mata.
Menurut laporan terbaru Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), dunia berada dalam
situasi kritis jika emisi gas rumah kaca tidak segera ditekan. Indonesia menyumbang sebagian besar
emisi global melalui deforestasi, kebakaran lahan gambut, dan pembakaran bahan bakar fosil. Di
tingkat domestik, berbagai upaya dilakukan, seperti peluncuran komitmen untuk mencapai net zero
emissions pada 2060. Namun, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, terutama
dalam hal implementasi kebijakan lingkungan.
Secara hukum, Indonesia memiliki perangkat regulasi yang cukup kuat, seperti Undang-Undang No.
32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Namun,
kenyataan di lapangan menunjukkan lemahnya pengawasan, korupsi, serta tekanan politik yang
menghambat efektivitas regulasi tersebut.
❖ Krisis Deforestasi dan Kebakaran Hutan
Deforestasi merupakan salah satu ancaman terbesar bagi kelestarian lingkungan di Indonesia. Data
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan bahwa deforestasi netto pada
2021-2022 mencapai 104 ribu hektare. Meski angka ini menurun dibandingkan tahun sebelumnya,
kerusakan hutan tetap menjadi persoalan serius.
Penyebab utamanya adalah pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit, tambang, dan
infrastruktur. Ironisnya, kebijakan moratorium izin baru perkebunan sawit yang diterapkan sejak 2018
tidak mampu menekan pelanggaran. Greenpeace Indonesia mencatat bahwa sebagian besar kebakaran
hutan pada 2023 terjadi di area konsesi perusahaan besar, yang seharusnya diawasi ketat.
Penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran hutan sering kali lemah. Perusahaan besar yang
terbukti terlibat biasanya hanya dijatuhi sanksi administratif tanpa ada konsekuensi hukum yang tegas.
Selain itu, masyarakat adat yang berupaya mempertahankan wilayah mereka dari eksploitasi sering
kali kalah dalam gugatan hukum melawan korporasi besar.
Selain dampak ekologis, kebakaran hutan juga memengaruhi kesehatan masyarakat. Pada 2023, kabut
asap kembali melanda sebagian besar wilayah Sumatera dan Kalimantan, menyebabkan gangguan
pernapasan dan menurunkan kualitas hidup. Situasi ini menunjukkan bahwa persoalan lingkungan
memiliki dimensi sosial yang luas, yang tidak dapat diabaikan begitu saja.
❖ Eksploitasi Sumber Daya Tambang
Lonjakan permintaan global terhadap mineral kritis seperti nikel dan tembaga telah mendorong
ekspansi tambang di Indonesia. Sebagai eksportir nikel terbesar di dunia, Indonesia menjadi pusat
perhatian dalam transisi energi global. Namun, eksploitasi tambang sering kali dilakukan tanpa
memperhatikan dampak lingkungan.
Pulau Obi di Maluku Utara adalah salah satu contoh nyata. Limbah tambang nikel di pulau ini
mencemari laut, menghancurkan ekosistem, dan mengancam mata pencaharian masyarakat lokal.
Meski ada regulasi yang mengharuskan perusahaan tambang melakukan reklamasi, pengawasan yang
lemah membuat praktik ini jarang dilakukan dengan baik.
Selain itu, dampak sosial dari kegiatan tambang kerap terabaikan. Masyarakat lokal sering kehilangan
akses terhadap sumber daya alam mereka, sementara kerugian lingkungan seperti pencemaran air dan
tanah menjadi beban yang harus mereka tanggung.
❖ Perubahan Iklim dan Ketergantungan pada Energi Fosil
Indonesia berkomitmen untuk mencapai net zero emissions pada 2060, tetapi jalan menuju target ini
masih penuh rintangan. Ketergantungan pada batu bara sebagai sumber energi utama adalah salah satu
hambatan terbesar.
Meski pemerintah telah meluncurkan program pensiun dini PLTU batu bara melalui Just Energy
Transition Partnership (JETP) pada 2023, implementasinya belum optimal. Kritik terhadap JETP
muncul karena kebijakan ini dinilai masih memberikan ruang bagi penggunaan batu bara dalam
jangka pendek, yang berpotensi menjadi greenwashing.
Di sisi lain, transisi ke energi terbarukan juga menghadapi tantangan, seperti keterbatasan
infrastruktur dan kurangnya insentif bagi pelaku usaha untuk berinvestasi dalam teknologi bersih.
Selain itu, masyarakat luas juga perlu dilibatkan dalam upaya transisi energi ini. Edukasi terkait
penggunaan energi terbarukan harus lebih masif, misalnya dengan memperkenalkan panel surya di
kawasan permukiman atau program insentif untuk penggunaan kendaraan listrik.
❖ Tantangan Penegakan Hukum Lingkungan
Lemahnya penegakan hukum menjadi akar masalah dalam perlindungan lingkungan di Indonesia. Aparat penegak hukum sering kali kurang memiliki kapasitas teknis untuk menangani kasus lingkungan yang kompleks. Selain itu, korupsi, tekanan politik, dan konflik kepentingan membuat banyak kasus pelanggaran lingkungan tidak terselesaikan.
Omnibus Law melalui UU Cipta Kerja semakin memperumit situasi. Regulasi ini dikritik karena
melemahkan persyaratan izin lingkungan, seperti penghapusan kewajiban AMDAL untuk usaha kecil
dan menengah. Meskipun Mahkamah Konstitusi telah meminta pemerintah untuk merevisi UU ini,
dampaknya terhadap perlindungan lingkungan masih menjadi kekhawatiran besar.
❖ Harapan dan Solusi
Meski tantangan begitu besar, ada harapan untuk membangun masa depan lingkungan yang lebih baik
di Indonesia. Beberapa langkah yang dapat diambil antara lain:
1. Peningkatan Kapasitas dan Integritas Penegak Hukum
Pelatihan berkelanjutan bagi aparat penegak hukum dan pembentukan lembaga pengawas independen
dapat memastikan bahwa pelanggaran lingkungan ditangani secara serius.
2. Partisipasi Aktif Masyarakat
Masyarakat adat dan lokal harus dilibatkan dalam pengelolaan lingkungan. Penguatan mekanisme
class action serta pemberdayaan komunitas melalui program pelestarian alam dapat menjadi solusi
efektif.